Selasa, 29 Maret 2011

Artikel Keluarga Sakinah

Artikel Keluarga Sakinah
KEWAJIBAN MENGIMANI PERBEDAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Selasa, 31 Oktober 06
Adanya perbedaan-perbedaan fisik, maknawi dan syar’i antara laki-laki dan perempuan adalah berdasarkan takdir, syara’, realita dan rasional. Hal itu sebagaimana dijelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai dua jenis manusia; “laki-laki dan perempuan”.

Allah berfirman,
Artinya: “Dan bahwasanya Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan Laki-laki dan perempuan.” (QS. An-Najm: 45)

Keduanya sama-sama menghuni dunia dengan kekhususan masing-masing. Dalam konteks umum agama, keduanya sama-sama mengisi dunia dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa dibedakan antara laki-laki dan perempuan, dalam: tauhid dan keyakinan, hakikat keimanan, penyerahan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pahala dan siksaan, targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman), serta dalam masalah fadhail (keutamaan-keutamaan diri). Hal itu, sebagaimana tidak dibedakan pula di antara keduanya dalam konteks umum pemberlakuan syariat tentang hak-hak dan kewajiban secara keseluruhan.

Allah berfirman,
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. (QS. An-Nahl: 97).

Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan dan memutuskan bahwa laki-laki tidak seperti perempuan dalam ciptaan, keadaan dan bentuknya, maka laki-laki memiliki kesempurnaan ciptaan dan kekuatan fisik. Sedangkan perempuan menurut ciptaan, watak dan fisiknya lebih lemah dibandingkan laki-laki, karena ia harus berurusan dengan masalah haid, kehamilan, melahirkan, menyusui bayi, mengurus keperluan bayi yang disusuinya, serta masalah pendidikan anak-anaknya selaku generasi penerus. Karena inilah, perempuan diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam alaihi salam. Ia merupakan bagian darinya, yang selalu mengikutinya sekaligus sebagai kesenangan baginya. Sedangkan laki-laki dipercaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, menjaganya dan memberi nafkah kepadanya, di samping juga nafkah anak hasil hubungan mereka berdua. Konsekwensi dari perbedaan ciptaan ini adalah, adanya perbedaan kekuatan dan kemampuan fisik, rasio, fikiran, perasaan dan kemauan, serta dalam pekerjaan dan lain sebagainya. Di samping hasil kajian yang telah disampaikan oleh pakar kedokteran kontemporer berkenaan dengan pengaruh-pengaruh yang menakjubkan, akibat adanya perbedaan bentuk ciptaan antara laki-laki dan perempuan.

Dua macam perbedaan inilah yang pada akhirnya dijadikan barometer oleh kebanyakan hukum tasyri’. Keduanya dengan kemaha-bijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha Mengetahui, mengharuskan adanya perbedaan, kelainan dan kelebihan antara laki-laki dan perempuan dalam sebagian hukum tasyri’, baik dalam urusan dan tugas yang sesuai dengan ciptaan, bentuk kemampuan dan operasional masing-masing, serta kekhususan masing-masing dalam konteks kehidupan manusia, agar hidup saling melengkapi dan masing-masing melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan laki-laki dengan beberapa hukum yang sesuai dengan ciptaannya, bentuknya, kerangka tubuhnya, karakternya, keahliannya, kemampuan bekerjaanya, kesabarannya dan keuletannya. Tugas mereka secara umum berada di luar rumah, bekerja dan memberi nafkah kepada keluarganya yang berada di dalam rumah.

Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengkhususkan perempuan dengan beberapa hukum yang sesuai dengan ciptaannya, bentuknya, kerangka tubuhnya, karakternya, keahliannya, kemampuan operasionalnya serta kelemahannya untuk memikul beban berat. Dan secara umum, tugas dan wewenang perempuan berada di dalam rumah, membereskan semua urusan rumah dan mendidik anak-anak sebagai generasi masa depan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan istri Imran:

Artinya: “… dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran: 36)

Maha suci Allah yang memegang sepenuhnya hak mencipta, memerintahkan, menghukumi dan memberlakukan syari’at.

Artinya: “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah, Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf: 54).

Yang demikian itu adalah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat ’kauniyah qadariyah’ (ketentuan alamiyah) dalam ciptaan, bentuk dan potensi-potensinya. Sedang yang ini adalah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat ’diniyah syar’iyah’ (syariat keagamaan) dalam hal yang berkenaan dengan perintah, hukum dan pemberlakuannya. Maka, kedua kehendak inipun bertemu atas dasar kemaslahatan manusia selaku hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, pemakmuran alam, ketertiban hidup individu manusia, rumah, kelompok dan komunitas sosial.
READMORE - Artikel Keluarga Sakinah

Afaf, Nilai Positifnya Bagi Keluarga

Afaf, Nilai Positifnya Bagi Keluarga
Jumat, 09 Januari 09


Afaf adalah kebersihan diri dari perkara-perkara yang tabu dan saru menurut timbangan agama, hal ini dengan menjauhi dan menghindarinya termasuk sarana dan pengantar kepadanya berupa sikap, tindakan dan perkataan. Di zaman di maka keluhuran akhlak dan kehormatan diri semakin menipis, kecenderungan dan kecondongan kepada kenikmatan sesaat semakin menguat, akhlak afaf yang mulia ini di samping terasa berat karena tantangannya yang sedemikian deras, ia juga tergolong barang langka yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang sadar terhadap kemulian dirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk terbaik.

Dalam koridor kehidupan suami istri akhlak yang mulia ini mutlak diperlukan, dengannya biduk rumah tangga akan mengarungi laut kehidupan dengan baik, dengannya ikatan suami istri terjalin dengan kokoh, dengannya bangunan rumah tangga tegak berdiri, dengannya iklim kehidupan pernikahan menjadi bersih. Tanpanya ikatan kepercayaan suami istri luntur berganti dengan perasaan dikhianati, tanpanya suami menjadi jijik kepada istri karena istri telah dijilat anjing, tanpanya istri menjadi jijik kepada suaminya karena dia ibarat anjing yang telah menjilat dan mengais makanan di tempat sampah yang kotor, selanjutnya adalah hancur dan runtuhnya kehidupan pernikahan yang sebelumnya diharapkan bisa mencipta taman kebahagian dan kebun surga dunia, gara-gara hilangnya akhlak afaf ini ia berbalik menjagi kubangan kesengasaran dan jurang neraka dunia.

1- Afaf menjaga keutuhan rumah tangga

Sebagaimana penulis jelaskan di atas. Lebih luas pembaca bisa mengingat-ingat tulisan penulis sebelumnya di Link yang sama dengan judul selingkuh penghancur rumah tangga.

2- Afaf berjodoh dengan afaf

Yang baik berjodoh dengan yang baik, yang buruk berjodoh dengan yang buruk. Orang baik berkawan dengan orang baik, orang buruk berkawan dengan orang buruk. Lembu berkawan dengan lembu. Adakah pembaca menemukan lembu berkawan dengan unta? Ini sudah menjadi sunnatullah dalam hidup ini. Manakala Anda ingin orang-orang yang ada di sekitar Anda baik, khususnya jodoh Anda dan anak-anak Anda maka Anda wajib memperbaiki diri, omong kosong kalau Anda akan menemukan orang-orang baik sementara Anda sendiri bejat alias rusak. Perhatikanlah dua ayat berikut bagaimana Allah Ta'ala memasangkan wanita-wanita pezina dengan laki-laki sejenisnya, sebaliknya Allah memasangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki semodelnya, niscaya Anda akan memahami apa yang penulis goreskan di atas.

Firman Allah Ta'ala, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur: 3).

Firman Allah Ta'ala, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (An-Nur: 26).

Jadi jika Anda wahai suami atau istri ingin pasangan Anda bersih, keluarga Anda terjaga maka bersihkanlah dan jagalah diri Anda. Bentuklah diri menjadi seorang suami muslim atau istri muslimah yang afif atau afifah, jauh dari hal-hal yang mengotori dan menodainya.

3- Afaf adalah sifat orang-orang mukmin penghuni surga

Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta'ala, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminun: 5-7) Sampai kepada firmanNya, “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mukminun: 10-11).

Firman Allah Ta'ala, “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma’arij: 29-31).

Dari Sahal bin Saad dari Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menjamin untukku apa yang ada di antara kedua jenggotnya dan kedua kakinya maka aku menjamin surga untuknya.” (HR. al-Bukhari).

Apa kaitan hal ini dengan hubungan suami istri? Begini, sebagai muslim Anda tentu berharap surga, lebih dari itu Anda juga berharap bisa kumpul dan bertemu dengan keluarga di sana bukan? Jangan khawatir kawan, Allah menjamin hal itu dalam firmanNya, “Dan orang-orang yang beriman dengan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (Ath-Thur: 21). Namun satu hal yang perlu Anda renungkan, seandainya Anda bukan suami atau istri yang mempunyai akhlak afaf ini, padahal ia adalah salah satu kunci surga, maka bagaimana Anda berharap bisa berkumpul dengan pasangan dan keluarga Anda di sana? Anda telah kehilangan salah satu kuncinya yang karenanya tidak tertutup kemungkinan Anda harus menebusnya terlebih dulu di neraka. Anda ‘enak-enakan’ di neraka sementara orang yang Anda harapkan bisa berkumpul dengannya telah mendahului ke surga, atau menemani Anda juga untuk ‘enak-enakan’ di neraka? Ini tentu bukan harapan Anda.

4- Afaf adalah salah satu kunci terangkatnya kesulitan

Penulis yakin karena penulis mengalaminya sendiri bahwa kehidupan rumah tangga tidak terlepas dari kesulitan dan rintangan, rumah tangga siapa pun pasti mengalaminya, banyak cara untuk mengangkat dan menaggulangi kesulitan ini. Anda mungkin sudah mengetahui sebagian darinya, namun tahukah Anda bahwa salah satu kunci mengatasi kesulitan dan terangkatnya kesempitan dalam kehidupan adalah akhlak afaf ini.

Bukti terkuat adalah kisah yang disampaikan oleh Rasulullah saw tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua oleh sebongkah batu besar yang menyumbat mulutnya, maka sebagian berkata kepada yang lain, “Lihatlah kepada amal-amal shalih yang kalian lakukan dengan ikhlas karena Allah Ta'ala, berdoalah dengannya semoga Allah mengangkat kesulitan ini dari kalian.” Singkat hadits, maka orang kedua berkata, “Ya Allah, aku mempunyai seorang sepupu, aku sangat menyintainya seperti seorang laki-laki menyintai wanita, aku meminta dirinya (maksudnya mengajaknya berbuat tidak baik), tetapi dia menolak sampai aku bisa memberinya seratus dinar. Aku bekerja keras sehingga aku berhasil mengumpulkan seratus dinar. Aku menyerahkan kepadanya. Manakala aku telah duduk di antara kedua kakinya, dia berkata, 'Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah jangan membuka cincin kecuali dengan haknya'. Maka aku meninggalkannya. Maka jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu karena mencari wajah-Mu maka bukalah pintu gua sedikit."

Lihatlah bagaimana Allah menggeser batu yang menutup pintu gua sehingga mereka bisa keluar dari dalam gua berkat doa mereka yang mana salah seorang dari mereka mempunyai sebuah kebaikan yaitu menjaga diri dari yang haram dan inilah afaf itu padahal semuanya sudah tersedia di depan mata, namun karena takut kepada Allah maka dia meninggalkannya. Memang benar, doanya bukan satu-satunya namun tanpanya doa dua orang yang lain juga belum mampu membuka mulut gua yang tersumbat batu.

Terangkatnya kesulitan berkat akhlak afaf ini tidak terbatas di dunia semata, ia juga berlaku di akhirat. Rasulullah saw telah menyatakan bahwa salah satu dari tujuh golongan yang mendapatkan perlindungan dari Allah di Hari Kiamat dengan lindungan arasNya adalah seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang cantik dan berpangkat, lalu dia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.” Mudah-mudahan Allah melindungi kaum muslimin dan keluarga mereka sehingga mereka senantiasa terjaga dan selanjutnya tercipta masyarakat muslim yang luhur dan berakhlak mulia. (Izzudin Karimi)
READMORE - Afaf, Nilai Positifnya Bagi Keluarga

Apakah Wanita Merdeka Berzina?

Apakah Wanita Merdeka Berzina?
Jumat, 14 Januari 11

Kalimat ini diucapkan oleh seorang wanita yang baru saja masuk Islam, darinya tercium aroma pengingkaran terhadap buruknya perbuatan buruk ini, bahwa perbuatan tersebut tidak pantas dengan kemerdekaan seseorang, artinya selama seseorang itu merdeka, maka tidak layak baginya terjatuh ke dalam perbuatan memalukan ini, dan bila seseorang melakukan perbuatan ini maka lepas sudah gelar orang merdeka dari tangannya dan dia merosot ke level yang lebih rendah, level hamba.

Wanita yang mengucapkan kalimat di atas Hind binti Utbah, wanita ini –sekalipun sebelum masuk Islam terkenal dengan permusuhannya kepada Islam dan kaum muslimin- adalah wanita terhormat yang menjaga kehormatannya dan menolak perkara-perkara rendah.

Saat itu peristiwa Fathu Makkah, penduduk Makkah tunduk dan orang-orang berbondong-bondong masuk Islam dan membaiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merampungkan baiat dengan kaum laki-laki, beliau membaiat kaum wanita, salah seorang dari mereka adalah Hind binti Utbah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaiat kaum wanita agar tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh ana-anak mereka, tidak mendatangkan kebohongan yang mereka buat di antara tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dan tidak membangkang dalam perkara yang ma’ruf.

Manakala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak berzina.” Hind berkata, “Apakah wanita merdeka berzina?”

Menelusuri kehidupan masa jahiliyah, kehidupan yang tiada tatanan dan aturan yang mengikat rasa malu yang tersisa pada sebagian pribadi, tiada kepemimpinan dan dominasi kecuali bagi si kuat atas si lemah, tiada ikatan yang membatasi kecuali sebatas hati nurani yang belum mati, dalam lingkungan seperti ini, dalam masyarakat semacam ini, seseorang bisa bebas melakukan tindakan, seseorang bisa mengerjakan perbuatan sebagai lampiasan hawa nafsu dan dorongan kesenangannya, termasuk dorongan kepada lawan jenis melalui lahan perzinaan, tidak mengherankan bila salah satu lahan subur di zaman itu adalah lahan hubungan haram ini.

Namun setelah membaca ucapan wanita yang di zamannya termasuk tokoh masyarakatnya di atas, penulis bisa menyimpulkan ternyata tidak semua kalangan terjangkit penyakit haram yang menjadi sebab penyakit berbahaya ini, rupanya sekelompok orang terhormat –salah satunya adalah wanita itu- yang masih mempertahankan kehormatan dan kemuliaannya, menolak perbuatan yang satu ini, bagi mereka perbuatan ini hanyalah arang yang menyoreng di kening dan selanjutnya susah untuk di hapus, sehingga dia pun berkata, “Apakah wanita merdeka berzina?”

Bila kita menelisik lebih cermat, mengorek lebih teliti, maka kita bisa menarik sebuah pemaparan kebenaran dari perkataan tersebut, artinya bila seseorang memang benar-benar orang merdeka, maka ia pasti menolak perbuatan yang satu ini, hal itu karena perbuatan ini akan merampas kemerdekaannya. Orang yang terjerat jaring najis ini sehingga dia melakukan perbuatan ini adalah orang yang terampas kemerdekaannya oleh hawa nafsunya, sehingga dia menjadi hamba atau budak bagi hawa nafsunya, dia akan sulit melepaskan diri dan mengembalikan kemerdekaannya karena kuatnya jeratan kenikmataan sesaat. Ini pertama.

Yang kedua, dia juga menjadi budak bagi pasangannya, karena perbuatan ini hanya bisa terjadi dari dua pihak, dengan asumsi bahwa yang bersangkutan bisa merdeka dari perbudakan hawa nafsunya sendiri, meninggalkan perbuatan ini dan bertaubat darinya, belum tentu dia bisa lepas dari pasangannya, lebih-lebih bila melakukan dengan banyak orang, mungkin dia bisa menghentikan dari dirinya sendiri dan menjadi orang merdeka, lalu bagaimana dengan orang-orang yang telah menikmatinya tanpa akad pernikahan? Relakah mereka melepaskannya yang berarti hilangnya lahan eksploitasi kenikmatan?

Yang ketiga, bila perbuatan ini berlatar belakang uang, maka yang bersangkutan adalah orang yang diperbudak uang, diperhamba harta sampai dia rela mencampakkan kemerdekaannya demi menjadi hamba uang.

Yang keempat, yang bersangkutan menjadi hamba penyakit yang berbahaya, dan dalam kapasitasnya sebagai wanita, dia lebih beresiko, karena struktur penciptaan wanita adalah sebagai wadah penampung, dalam perbuatan ini penampung ingus haram, sebagaimana wadah yang menampung ia lebih rentan untuk diperbudak oleh penyakit.

Yang kelima, yang bersangkutan menjadi hamba dari rasa malu di depan masyarakat, walaupun sisi ini kurang gregetnya, karena sikap ketat masyarakat sudah merenggang terseret toleransi palsu akibat seringnya hal ini terjadi sehingga lahir sikap pemakluman yang terpaksa, rasa malu ini lebih menguat manakala dari hubungan haram ini lahir seorang anak.

Yang keenam, bila Anda sebagai wanita yang berstatus istri, maka Anda adalah hamba bagi kehancuran rumah tangga Anda sendiri, karena fakta membuktikan bahwa hanya suami yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu alias dayyuts sajalah yang rela bejananya dijilat anjing kotor lagi kudisan.

Benarlah adanya ucapan Hind binti Utbah, “Apakah wanita merdeka berzina?” Dan sebelum itu ayat al-Qur`an telah berkata, “Jangan dekati zina, sesungguhnya ia adalah perbuatan keji dan jalan hidup yang buruk.” (Al-Isra`: 32). Wallahu a’lam.
READMORE - Apakah Wanita Merdeka Berzina?

BAPAK RUMAH TANGGA

BAPAK RUMAH TANGGA
Selasa, 21 Desember 10

Kehidupan telah berubah, kebiasaan telah berganti dan tatanan mulai bergeser, kalau dulu pemimpin rumah tangga: istri dan anak-anak adalah suami atau bapak, termasuk apa yang menjadi tuntutannya berupa tanggung jawab memberi nafkah, ini berarti bahwa suami atau bapak yang bekerja, di saat yang sama istri atau ibu sebagai penyeimbang dan pengisi kekosongan lahan yang ditinggalkan oleh suami atau bapak, mengurusi rumah dan anak-anak, maka dia disebut dengan ibu rumah tangga.

Tetapi itu dulu, saat kehidupan zaman ini mulai bergeser akibat dominasi adat dan pengaruh bangsa lain, saat peluang mendapatkan pekerjaan di luar rumah mulai dibuka untuk kaum hawa, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tersedot magnet mendapatkan gaji sendiri sehingga tidak meminta dan bergantung kepada suami, resikonya pos aslinya yaitu dalam negeri rumah tangga kosong karena ditinggal oleh sang penunggunya.

Dunia kerja semakin membuka peluang lebar-lebar bagi kaum wanita, kesempatan berkarir bagi mereka semakin memungkinkan, di pos-pos penting duduk kaum perempuan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki, hal ini menyeret kepada kesetaraan antara suami dan istri dalam hal penghasilan, dan selanjutnya istri pun bisa karena dorongan sendiri atau dari suami, ikut memikul tanggung jawab finansial keluarga, ini artinya suami telah memberikan sepenggal dari kue kepemimpinannya dalam rumah tangga kepada istri atau istri yang mengambilnya dari tangan suami, lumrah memang, karena pemikul tanggung jawab memiliki wewenang sebesar tanggung jawab tersebut.

Perkaranya tidak berhenti sampai di sini, dunia kerja terus berkembang dan membuka kesempatan bagi kaum hawa lebih lebar, akibatnya tidak tertutup kemungkinan sekalipun sama-sama berkerja, kedudukan, karier dan tentu saja penghasilan istri lebih besar dari suami, bila hal ini tidak berdampak terhadap hubungan dan kedudukan masing-masing dalam rumah tangga, maka mudah-mudahan tidak memicu konflik sehingga rumah tangga aman-aman saja, namun yang sering terjadi adalah saat uang istri lebih banyak, maka dia pun mulai mendominasi, biasa uang memang berkuasa, maka suami tergeser dari kursi qiwamah, atau dia tahu diri sehingga mundur dan menyerahkan kebanyakan darinya kepada istri, kalaupun suami tetap menjadi pimpinan, maka biasanya hanya sekedar formalitas saja.

Lebih parah lagi manakala yang berpenghasilan adalah istri, sedangkan suami nganggur alias tidak bekerja, dan betapa banyak rumah tangga seperti ini di zaman ini, akibatnya kepemimpinan mutlak dipegang oleh istri sebagai penafkah keluarga berikut segala hal yang menjadi buntutnya, akhirnya suami hanya berposisi sebagai seksi sibuk di belakang, mengurusi rumah tangga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka lahirlah sebuah nama untuknya sebagaimana dalam judul tulisan ini. Sebuah keadaan rumah tangga yang tidak diharapkan karena ia jauh dari titik ideal, namun bagaimana bila kedua belah pihak merasa nyaman dengan peran terbalik seperti itu? Wallahu a’lam.
READMORE - BAPAK RUMAH TANGGA

Bosan Di Rumah

Bosan Di Rumah
Jumat, 26 Desember 08

Rumah adalah habitat terbaik bagi seorang muslimah, di sana dia meraih ketenangan dan ketentraman, di sana dia merengkuh kebahagiaan bersama keluarganya, di sana dia menumbuhkan cinta dan kasihnya, di sana dia mendidik diri dan buah hatinya, di sana dia menegakkan nilai-nilai Tuhannya, di sana dia menerapkan ajaran-ajaran agamanya, di sana dia membina sebuah masyarakat kecil mandiri, di sana dia menjaga dan melindungi dirinya, di sana dia mewujudkan segala impian dan angan-angannya, di sana dia melakukan dan merencanakan segalanya. Semua itu menjadikan rumah habitat terbaik baginya.

Namun demikian rasa bosan sering timbul, rasa jenuh acap kali muncul, rasa jemu tidak jarang mendera karena keberadaan di rumah. Dalam batas-batas tertentu wajar karena jenuh dan bosan merupakan pembawaan yang menempel pada setiap manusia, di samping hal ini kembali kepada penyebabnya secara umum yaitu rutinitas yang datar dan aktivitas monoton serta lingkungan yang menjadi sasaran pandangan mata tidak berubah, kamar tidur, dapur, tembok dan jendela rumah, plus kegiatan-kegiatan rumah yang sehari-harinya itu-itu saja dan hampir tidak berubah.

Bukan merupakan persoalan jika kebosanan ini datang sesaat lalu pergi lagi, itu wajar, tidak hanya yang di rumah yang mengalami hal itu, yang di luar pun akan mengalaminya, namun akan menjadi masalah jika kejenuhan datang namun ia tidak kunjung mau pergi walaupun sudah diusir dengan berbagai cara, dari yang halus hingga yang kasar, akibatnya hidup terasa kurang nyaman, ibarat masakan tidak bergaram. Jika demikian maka jangan bosan untuk membaca yang berikut ini.

1- Di rumah sebagai pilihan

Dan sudah barang tentu Anda sudah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya termasuk rasa bosan yang sewaktu-waktu datang menyerang. Karena pilihan untuk di rumah adalah pilihan Anda sendiri, kesadaran Anda sendiri sebagai muslimah dengan harapan bisa mewujudkan beberapa sisi positif dari keberadaan Anda di rumah. Dari sini, karena ia merupakan pilihan atas dasar keadaran maka Anda mestinya telah siap memikul rasa jenuh ini. Sebaliknya jika Anda memilih keluar rumah dalam arti mencari kesibukan di luar, bukan jaminan Anda akan bebas dari perasaan ini.

2- Motivasi Anda di rumah

Bertanyalah kepada diri, apa yang mendorong dan memotivasi saya untuk memilih berada di rumah? Sebagai seorang muslimah, segala tindak-tanduknya termotivasi oleh keinginan meraih pahala dan ridha dari Allah Ta'ala. Jika memang demikian motivasi Anda dan seharusnya memang demikian karena secara prinsip memang ada anjuran dari agama kepada muslimah untuk itu, maka hal ini perlu Anda ingat dan perbarui pada saat Anda merasa bosan. Katakan pada diri, saya di rumah adalah demi kebaikan dan keseimbangan diri, suami dan anak-anak, semua itu karena melaksanakan apa yang diridhai oleh Allah Ta'ala, niscaya hal itu, minimal dan paling tidak, dalam batas-batas tertentu, akan menyusutkan rasa bosan Anda.

3- Merubah rutinitas

Rutinitas lebih-lebih yang monoton sering menjadi pemicu kebosanan, ini artinya jika ia terjadi pada Anda maka Anda perlu walaupun hanya sedikit merubah rutinitas tersebut atau merubah apa-apa yang bisa dirubah dari rumah Anda, terkadang sedikit perubahan memberi arti yang cukup signifikan, pergeseran posisi suatu benda di dalam rumah menciptakan pemandangan baru, cobalah ubah atau geser posisi ranjang tidur atau kursi tamu, atau tata ulang dapur Anda, sepertinya sepele namun tidak ada salahnya dicoba kan? Atau selama ini Anda mencuci di pagi hari, tidak ada salahnya sesekali dilakukan disiang atau sore hari. Atau selama ini Anda memasak sendiri, tidak ada salah seret suami untuk ikut, walaupun dia tidak bisa namun minimal meramaikan dapur, siapa tahu setelah itu dia malah jadi suka ke dapur, bukankah Anda jadi terbantu?

4- Menganggap biasa

Wajar dan lumrah kalau manusia sesekali bosan, selama kita adalah manusia dan siapa pun pasti pernah mengalami, anggaplah sebagai suatu kewajaran, jangan terlalu dipikirkan sehingga Anda justru malah pusing dan jenuh karena memikirkan kebosanan, akibatnya kebosanan pertama belum pergi, sudah datang kebosanan baru akibat memikirkan kebosanan yang pertama, numpuk-numpuk jadinya.

5- Turuti dan ikuti

Tidak ada salahnya Anda sesekali menuruti rasa bosan Anda, anggap saja hal ini sebagai masa jeda atau rehat, jika Anda bosan memasak misalnya, ya sesekali tidak masak, beli saja di warung dan setelah Anda mengetahui bahwa masakan warung tidak sesuai dengan lidah Anda maka Anda akan kembali ingin memasak. Sesekali biarkan diri Anda membebaskan diri dari kesibukan rumah, minta pengertian suami, dorong anak yang mungkin sudah mampu mengurusi dirnya untuk lebih mandiri mengusrusi dirinya sehingga Anda bisa santai, tapi ingat hanya sesekali, sebab kalau ini sering Anda lakukan maka Anda akan bosan sendiri, akhirnya Anda mengatasi kebosanan dengan kebosanan.

6- Tidak perlu mengukur diri dengan orang lain

Karena diri saya adalah diri saya dan orang lain adalah orang lain, belum tentu apa yang membuat saya bosan membuatnya bosan atau sebaliknya, belum tentu orang yang kita pandang begini dia benar-benar begini, bisa saja dia begitu karena kita hanya tahu darinya sebatas apa yang nampak darinya dan apa yang nampak bukan barometer pasti. Mungkin salah satu dari kita berpikir, enaknya si anu, pagi dia berangkat kerja, pulang sore. Nyamanya si ini, dia punya kesibukan begini dan begini. Terkadang itu yang terpikir di benak sebagian dari kita, padahal tanpa kita tahu orang yang menurut kita enak dan nyaman itu juga berpikir, enaknya si anu, dia cukup berada di rumah, tidak perlu bersusah payah berangkat kerja dan keluar rumah, tidak perlu berpanas-panas dan berhujan-hujan, tidak perlu berdesak-desakan di angkutan umum dan sebagainya.
Jadi kalau Anda merasa bosan lalu menganggap orang lain tidak bosan sehingga selalu mengukur diri dengannya maka hal ini justru akan menimbulkan kebosanan baru. Cukup ukur diri Anda dari diri Anda sendiri. Bolehlah sesekali menengok orang lain namun hal itu bukan segalanya.

7- Bertemu kawan

Dengan ziarah kepadanya atau dengan mengundangnya ke rumah, dengan pertemuan sesama saudara seperti ini, saling bertukar kabar, saling bercerita pengalaman, saling memberi hadiah walaupun hanya sekedar makanan ringan yang harganya tidak seberapa, saling memperhatikan anak masing-masing bermain, akan menciptakan suasana baru yang diharapkan bisa menetralisir rasa bosan Anda, namun satu hal yang perlu diperhatikan, tidak perlu berlebih-lebihan dalam hal ini sehingga yang terjadi Anda keluar masuk rumah orang dengan alasan menghilangkan kebosanan yang ujung-ujungnya menimbulkan kebosanan baru atau orang yang Anda datangi justru merasa bosan karena seringnya Anda nongol di depan rumahnya. Wallahu a'lam.
(Izzudin Karimi)
READMORE - Bosan Di Rumah

Diantara Kesalahan Berfikir

Diantara Kesalahan Berfikir
Jumat, 22 April 05
"Untuk memperoleh keridhaan (dukungan) dan penghormatan manusia, maka banyak-banyaklah mengikuti arus mereka pada setiap kesempatan."
Ini adalah salah satu dari sekian banyak kesalahan berfikir dan berperilaku yang banyak dilakukan oleh mayoritas orang zaman ini, dimana mereka menjadikan tujuan utama yang ada dalam benak mereka berupa keridhaan orang lain kepadanya dan orang lain menerima dirinya dengan baik. Maka orang yang demikian menganggap bahwa ber-mujamalah (basa-basi) dan beradaptasi pada setiap keadaan, baik itu benar atau pun salah, akan menyebabkan ia diterima di hati orang lain, dan bahwa keridhaan manusia terhadapnya akan bertambah dengan banyaknya basa-basi yang ia lakukan atau mengikuti kemauan mereka. Padahal sesungguhnya manusia banyak yang tidak menyukai orang yang selalu menyesuaikan diri dengan keadaan serta tidak membedakan antara yang benar dan yang salah.
Sesungguhnya kemampuan minimal yang rasional untuk beradaptasi dengan orang lain akan melahirkan kemampuan untuk melakukan approach atau pendekatan dan menyatukan antara dua pihak. Dan hal ini tidak akan mengundang masalah selama masih dalam koridor atau batasan-batasan syari'at. Adapun yang menjadi masalah adalah apabila melampau hal itu, dan menjadikan relasi antar sesama dan adaptasi serta ingin dianggap baik sebagai tujuan utama; dimana setiap kali bertambah tinggi adaptasimu akan menambah bagusnya prasangka dan penerimaan mereka kepadamu; dan persepsi bahwa cara mendapatkan penerimaan orang lain adalah dengan selalu berbasa-basi. Padahal faktanya menyatakan bahwa penghormatan orang lain kepadamu adalah berbeda-beda tergantung kepada masing-masing pribadi; diantara mereka ada yang tidak menganggap persahabatan kecuali kepada orang sepakat dengannya saja. Maka orang yang demikianlah yang menganggap ia menghormati dan menghargaimu.

Sebagai contoh:
1. Hindun, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Dian sangat pemalu, dan sangat baik dalam perilaku dan agamanya, dimana kawan-kawannya tidak sebagus Hindun dalam perilaku dan agamanya. Maka ia sangat tidak suka dengan perilaku mereka itu yang berperilaku tidak sopan (suka bersenda-gurau dengan para pemuda, dll). Hindu selalu saja bersahabat dengan mereka dengan basa-basi, dan adaptasi dengan mereka, dan berpura-pura, maka ia pun bahagia dengan adaptasi Hindun ini, apalagi mereka tidak menentang Hindun. Akan tetapi penerimaan mereka kepada Hindun ini tidak berlangsung lama, dimana kawan-kawan Hindun telah merasakan hal ini, sebab bagaimana mungkin seorang yang bagus agamanya lalu ia akrab dengan perempuan-perempuan yang banyak bersenda-gurau dengan laki-laki, lalu beradaptasi dengan mereka, dan menerima keadaan mereka, dan berusaha berpura-pura dengan mereka. Maka, salah seorang dari wanita-wanita itu pun berkata, "Dia yang ikut menjadi seperti kita-kita, ataukah kita berpisah saja dengannya."
2. Shalih pernah ingin membeli sebuah tempat tinggal. Setelah mengumpulkan uang sampai dirasa cukup, maka ia pun mulai mencari tempat tinggal yang sesuai untuk dibeli, apalagi ibu dan saudara perempuannya juga ikut serumah dengannya. Setelah beberapa hari, datang seorang kerabatnya dan ingin meminjam uang sebanyak 100.000 Riyal. Maka Shalih memikirkan hal itu, dan akhirnya ia mengambil keputusan "ingin memperoleh keridhaan kerabatnya itu", dan akhirnya meminjamkan uang tersebut dengan syarat mengembalikannya dalam 3 bulan kemudian sebagaimana ia janjikan. Dan belum berlalu waktu 2 minggu, Shalih pun mendengar bahwa kerabatnya itu membeli rumah hingga akhirnya ia tidak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya itu kecuali setelah 2 tahun lagi. Maka ketika Ibunya Shalih mengetahui perbuatan Shalih itu, maka berubahlah temperamennya dan berkata seperti seorang awam yang disebut dengan: "Engkau bagai lilin yang menyala, menerangi tempat tapi dirinya sendiri binasa."
Sumber: Majalah Al-Usrah, no. 110, Jumadal Ulaa 1423H
READMORE - Diantara Kesalahan Berfikir

Hadiah yang Paling Berharga Adalah Senyum

Hadiah yang Paling Berharga Adalah Senyum
Selasa, 20 Januari 04
Terkadang hadiah yang paling berharga dan berkesan adalah senyum dan kata-kata yang baik lagi santun. Ketika Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk saling memberikan hadiah, dengan tujuan untuk menghilangkan permusuhan atau kemarahan diantara mereka sehingga kemudian mendatangkan persahabatan dan kecintaan. Beliau bersabda: Saling berjabat-tanganlah kalian, maka akan hilang kedengkian, dan saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.
Sesungguhnya, manusia dengan tabiatnya, merasa bahagia ketika mendengar ada orang yang memujinya atau mengkhususkannya, ataupun menyanjungnya dengan sanjungan yang layak, atau bila ada orang yang menghormati dirinya. Maka dia akan merasa dianggap harga dirinya, dan akan bertambah rasa saling mencintai antar sesama.
Sesungguhnya hadiah, adalah satu dari sekian banyak sarana untuk menciptakan suasana yang bermakna pujian, sanjungan, dan penghormatan diantara sesama, sebab dengan itu keinginan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan dari sesama kita bisa tercapai Misalnya dari ketetanggaan, kita memberikan hadiah dengan penuh senyum dan ucapan-ucapan yang santun akan menggenapkan maksud dan tujuan yang pada gilirannya akan menambah kedekatan hubungan kemanusiaan, dan semakin berkembang rasa cinta dan penghormatan.
Dan sesuai dengan apa yang dikemukakan psikolog, Sesungguhnya hadiah termasuk salah satu jenis solusi kejiwaan untuk mengobati kegersangan jiwa itu sendiri, dimana hadiah tersebut merupakan implementasi penghargaan, penghormatan, kekaguman kepada orang lain yang bermuara pada membahagiakan orang lain.
Kalau hadiah itu diberikan kepada orang yang paling dekat kepada kita, seperti seorang suami kepada isteri, ataupun sebaliknya, atau seorang anak atau puteri kepada kedua orang tuanya atau pun sebaliknya, atau seorang sahabat atau kawan jauh, maka itu semua sangat bernilai dihadapan orang yang menerima hadiah.
Sesungguhnya, nilai hadiah bukanlah pada nilai nominalnya, melainkan pada kedudukannya yang bisa memaknakan perasaan kemanusiaan. Yang demikian krena manusia butuh kepada bantuan kejiwaan secara terus-menerus, baik dari orang di sekelilingnya, ataupun kerabat, dalam berbagai jenis hadiahnya. Contohnya: ketika mengunjungi orang sakit disamping memang hal itu wajib, akan tetapi dengan memberikan hadiah, ... kata-kata yang memotivasinya adalah hadiah, ...surat-menyurat adalah hadiah, ... dan hadiah adalah bermacam-macam.
Sesungguhnya hadiah yang baik akan melanggengkan persahabatan, dan orang yang menerima hadiah pun menganggapnya sebagai sesuatuyang indah. Orang yang memberinya pun akan bahagia karena bisa memberikan sesuatu yang berharga kepada sahabatnya. Sesungguhnya hadiah merupakan solusi terhadap segala problematika persahabatan, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana ia bisa menambah kuat ikatan kekerabatan, antara pemberi dan penerima hadiah.
Oleh karena itu, sudah semestinya, kita semuanya, yang besar maupun kecil untuk membiasakan diri untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Kita memberinya hadiah, ataupun kenang-kenangan pada berbagai kesempatan yang ada dan kita tambahkan dengan dua hadiah lainnya, yaitu senyum yang ikhlas dan ucapan yang santun yang keduanya tidak perlu membeli.
READMORE - Hadiah yang Paling Berharga Adalah Senyum

Putriku, Kembalilah ke Jalan Tuhanmu

Putriku, Kembalilah ke Jalan Tuhanmu
Jumat, 05 Maret 04
Putriku tercinta! Aku adalah seseorang yang telah berusia hampir lima puluh tahun.*) Hilang sudah masa remaja, impian dan khayalan. Aku telah banyak mengunjungi banyak negeri dan berjumpa dengan banyak orang. Aku juga telah merasakan pahit getirnya dunia. Oleh karena itu, dengarlah nasihat-nasihatku yang benar lagi jelas berdasarkan pengalaman-pengalamanku. Dan tentang hal ini? Engkau belum pernah mendengar dari orang lain.

Kami telah menulis dan mengajak kepada perbaikan moral, menghapus kebejatan dan mengekang hawa nafsu, sampai pena tumpul dan mulut letih dan kami tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada kemungkaran yang dapat kami berantas, bahkan bertambah, kerusakan mewabah, pakaian terbuka dan merangsang semakin merajalela, semakin meluas. Berkembang dari suatu negeri ke negeri yang lain, sampai tak ada satu negeri Islam pun menurut dugaanku terhindar dari wabah itu. Negeri-negeri Syam (Syiria, Yordania, Libanon, Pales-tina) sendiri yang dulu benar-benar bersih, menutup aurat, sangat menjaga kehormatan wanitanya, kini para wanita itu ke luar dengan pakaian merangsang, terbuka bagian lengan dan lehernya.

Kami belum berhasil, kami kira tidak akan berhasil. Tahukah engkau, mengapa? Karena sampai saat ini, kami belum menemukan cara untuk memperbaikinya, kami belum tahu jalannya. Sesungguhnya jalan kebaikan itu ada di depanmu, putriku! Kuncinya ada di tanganmu. Bila engkau percaya bahwa kunci itu ada, lalu engkau menggunakannya untuk masuk, maka keadaan akan baik.

Memang benar bahwa lelakilah yang memulai langkah pertama di dalam lorong dosa, wanita tidak akan pernah memulainya. Tetapi bila engkau tidak setuju, laki-laki itu tidak akan berani dan andaikan bukan lantaran lemah gemulaimu, lelaki tidak akan bertambah parah. Engkaulah yang membuka pintu, dia yang masuk, kau katakan pada si pencuri itu, “Silakan …” ketika ia telah mencuri, engkau berteriak, “Maling …! Tolong…tolong! Saya kemalingan.” Jika engkau mengerti bahwa semua laki-laki adalah serigala dan engkau adalah domba, niscaya engkau akan lari dari mereka, sebagaimana domba lari dari serigala. Kalau kau sadar bahwa mereka pencuri, engkau pun akan hati-hati, sebagaimana seorang yang pelit takut kecurian.

Apabila serigala hanya menginginkan daging domba saja, maka sesuatu yang diharapkan lelaki dari engkau, lebih mulia dari daging domba itu. Kematian lebih baik bagimu daripada kehilangan sesuatu yang mulia itu. Lelaki itu mengharapkan sesuatu yang paling mahal bagimu, yaitu kehormatan yang menjadi kebanggaan, kemuliaan dan dengan itu pula engkau hidup. Hidup wanita yang kehormatannya telah terenggut lelaki, sungguh seratus kali lebih pahit daripada kematian seekor domba yang mati diterkam serigala.

Ya demi Allah… tidaklah seorang pemuda melihat gadis, melainkan gadis itu dikhayalkannya di dalam keadaan tanpa pakaian.

Demi Allah, begitulah. Yang kami bersumpah untuk ke dua kalinya padamu. Jangan kau percaya apa yang dikatakan laki-laki, bahwa ia tidak akan melihat gadis, melainkan (hanya ingin mengetahui) akhlak dan budi bahasanya. Ia akan berbicara sebagai seorang sahabat, ia akan mencintainya sebagai seorang kawan. Demi Allah ia telah bohong! Jika engkau mendengar obrolan di antara anak-anak muda di dalam kesepian mereka, engkau akan mendengar sesuatu yang mengeri-kan. Senyuman yang diberikan pemuda kepadamu, kehalusan budi bahasa dan perhatian, semua itu tidak lain hanyalah merupakan perangkap rayuan untuk mencapai tujuannya atau paling tidak, pemuda itu sendiri merasa bahwa itu adalah rayuan!

Setelah itu apa yang terjadi? Apa, wahai putriku? Coba kau pikirkan!
Kalian berdua sesaat berada di dalam kenikmatan, kemudian engkau ditinggalkan dan engkau selamanya tetap akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan itu. Pemuda tersebut akan terus mencari mangsa lain untuk diterkam kehormatannya, sedang engkau yang menang-gung beban kehamilan di dalam perutmu. Jiwamu menangis, keningmu tercoreng. Masyarakat yang zhalim dapat mengampuni pemuda itu dengan mengatakan, “Ia anak muda yang sesat lalu bertaubat.” Tetapi engkau, selama hidupmu tetap berkubang kehinaan dan keaiban. Masyarakat tidak akan mengampunimu selama-lamanya.

Namun jika saat engkau bertemu pemuda kau busungkan dadamu, kau palingkan muka, kau tunjukkan kepribadian dan menghindar… dan kalau pengganggu-mu belum mengindahkan, sampai berbuat lancang lewat perkataan atau tangan usil, kau lepaskan sepatu dari kakimu lalu kau lemparkan ke kepalanya. Jika semua ini engkau lakukan, maka semua orang di jalan akan membelamu. Setelah itu anak-anak nakal tidak akan mengganggumu lagi dan juga gadis-gadis lain. Dan tentunya, -jika ia seorang pemuda yang shalih- akan datang kepadamu untuk minta ma’af dan tidak mengulangi perbuatannya. Selanjutnya, ia akan mengha-rapkan hubungan yang baik dan halal. Ia akan datang melamarmu.

Wanita, bagaimanapun keadaan status sosial, kekayaan, popularitas dan prestasinya, tidak akan mendapatkan sesuatu yang sangat diangan-angankan dan kebahagiaan, melainkan di dalam perkawinan. Menjadi istri yang baik, seorang ibu yang terhormat dan pendidik keluarga. Baik wanita itu seorang ratu, putri raja atau seorang bintang film Hollywood kenamaan yang penuh dengan gemerlapan dan mempesona kebanyakan wanita.

Aku mengenal dua sastrawati besar di Mesir dan Syria, benar-benar sastrawati. Mereka telah meraih supremasi karya sastra dan kekayaan. Akan tetapi, mereka kehilangan suami, lantas akal pun hilang dan mereka menjadi gila. Jangan pojokkan aku dengan me-nanyakan siapa mereka, karena nama itu sudah terkenal.

Cita-cita tertinggi seorang wanita adalah perkawin-an, walaupun ia seorang anggota parlemen, pemegang kekuasaan. Takkan ada seorangpun yang mau menga-wini wanita pelacur. Seorang yang bermaksud menga-wini wanita baik pun, kalau ia ternyata sesat, orang itu akan pergi meninggalkannya. Kalau mau menikah, ia akan memilih wanita lain yang baik karena ia tidak rela bila ibu rumah tangga dan ibu putra-putrinya adalah seorang wanita amoral.

Seorang pria, sekalipun fasik, bila di tempat kelezatan tidak menemukan wanita yang mau mengor-bankan kehormatannya di bawah telapak kakinya dan sesuka hati mau dijadikan barang mainan, dan jika pria itu sudah tidak mendapatkan perempuan lengah yang mau diajak kawin menurut agama iblis serta seperti kucing di Bulan Februari, pria itu akan mencari istri menurut cara Islam.

Maka, penyebab krisis perkawinan adalah kalian, wahai kaum wanita! Kalau saja tidak karena wanita fasik, krisis perkawinan tidak akan terjadi dan kesempatan berbuat maksiat tidak akan meluas, lalu mengapa kalian tidak sadar? Dan mengapa wanita-wanita mulia tidak berusaha memberantas malapetaka ini? Kalian yang lebih patut dan lebih mampu daripada kaum lelaki untuk melakukan usaha itu. Kalian lebih mengerti bahasa wanita dan cara menyadarkan mereka, apalagi yang menjadi korban kerusakan ini adalah kalian, para wanita terpelihara, mulia, wanita yang terjaga dan beragama.

Pada setiap rumah di Syria terdapat gadis-gadis berusia cukup untuk kawin, namun belum juga mendapatkan suami. Hal ini dikarenakan para pemuda sudah mendapatkan kekasih dan tidak butuh lagi pada istri. Barangkali keadaan serupa terjadi di negeri lain.

Maka bentuklah jama’ah-jama’ah dari kalian baik sastrawati, wanita berpendidikan, guru-guru sekolah dan para mahasiswi untuk mengembalikan saudari-saudari kalian yang tersesat menuju kebenaran. Ajaklah mereka bertaqwa kepada Allah. Jika mereka tidak mau bertaqwa, berilah peringatan akan terjangkitnya suatu penyakit. Jika mereka masih tidak menurut, jelaskanlah dengan melihat kenyataan. Katakanlah kepada mereka, “Kalian adalah gadis-gadis remaja putri yang cantik, Oleh karena itu, banyak pemuda menemui kalian dan berebut di sekitar kalian. Akan tetapi apakah keremajaan dan kecantikan itu akan kekal? Akan tetapkah yang remaja dengan keremajaannya dan yang cantik dengan kecantikannya? Benda apakah di dunia ini yang bersifat kekal? Bagaimana kelanjutannya, jika kalian sudah menjadi nenek-nenek dengan punggung bungkuk dan wajah berkeriput? Saat itu, siapakah yang akan simpati? Tahukah kalian, siapakah yang memperhatikan, meng-hormati dan mencintai seorang nenek? Mereka adalah anak dan cucunya. Saat itulah nenek tersebut menjadi seorang ratu di tengah rakyatnya. Duduk di atas singga-sana dengan memakai mahkota. Tetapi nenek yang lain, yang masih belum bersuami itu? Kalian sendiri lebih tahu apa yang terjadi dengan nenek itu.”

Di Brussel, di sebuah trotoar yang ada di persim-pangan jalan, aku menyaksikan seorang nenek tua yang tak mampu menyangga kedua kakinya. Anggota tubuh-nya bergetar dimakan usia. Perempuan tua itu ingin menyeberang, saat itu, mobil-mobil di sekelilingnya hampir saja melindasnya, tak seorangpun yang mau menggandeng tangannya.

Maka kukatakan kepada pemuda yang bersamaku, “Hendaknya salah seorang dari kalian menghampiri dan menolongnya.”
Waktu itu kami bersama seorang kawan yaitu Ustadz Nadim Zhubayan. Ia telah tinggal di Brussel lebih dari 40 tahun. Beliau berkata kepadaku, “Tahukah anda bahwa nenek tua itu dahulunya adalah seorang primadona negeri dan banyak membuat fitnah (ujian) bagi manusia? Para lelaki selalu menguntitnya dengan segenap hati (dan dengan apa yang di kantong mereka) untuk sekedar mendapatkan pandangan atau sentuhan-nya. Tetapi ketika masa bunganya telah habis dan kecantikannya sirna, tak seorangpun yang anda lihat mau menyentuh tangannya.”

Apakah kelezatan itu sebanding dengan penderita-an di atas? Apakah akibat itu akan kita tukar dengan kelezatan sementara?

Dan tentu masih ada nasehat-nasehat serupa. Kalian para wanita, tidak memerlukan petunjuk orang lain dan tidak akan kehabisan cara untuk memberi nasehat kepada saudari-saudari kalian yang sesat dan patut dikasihani. Jika kalian tidak dapat mengasihani mereka, berusahalah untuk menjaga wanita baik-baik, gadis-gadis yang sedang tumbuh agar mereka tidak menempuh jalan yang salah itu.

Saya tidak minta kalian untuk mengubah secara drastis, mengembalikan wanita masa kini kepada keada-an yang dimiliki wanita yang benar-benar muslimah. Tidak, kami tahu bahwa perubahan cepat itu mustahil. Ibaratnya malam yang gelap gulita dan pagi yang cerah bercahaya. Allah tidak akan memindahkan dari kege-lapan kepada cahaya di dalam sekejap. Tetapi Dia memasukkan siang ke dalam malam dan engkau tidak merasakan perubahan itu. Seperti halnya jarum jam yang ada pada sebuah jam waktu. Engkau melihatnya diam tak bergerak. Tetapi lihatlah kembali setelah dua jam kemudian, nicaya engkau melihatnya telah berjalan.

Demikian pula dengan perubahan manusia dari masa kanak-kanak ke masa remaja, dari masa remaja ke masa tua. Sama halnya dengan perubahan sebuah negeri dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Akan tetapi, kembalilah ke jalan yang benar setapak demi setapak, sebagaimana engkau menerima kerusakan setapak demi setapak. Kalian memendekkan pakaian sedikit demi sedikit. Kalian pertipis kerudung dan sabar melalui masa yang panjang. Kalian lakukan perubahan ini, sedangkan lelaki shalih tidak menyadari. Majalah-majalah porno menggalakkan masalah ini. Orang-orang fasik riang gembira, sampai akhirnya kita mencapai suatu keadaan yang tidak diridhai Islam, bahkan tidak pula oleh agama Nasrani. Juga tidak dilakukan oleh para penyembah api yang berita mereka sudah kita baca di buku-buku sejarah. Bahkan hingga sampai pada suatu keadaan yang tidak dapat diterima para hewan.

Dua ayam jago apabila sama-sama menginginkan ayam betina, saling menyerang karena cemburu dan membela. Tetapi di pesisir Iskandariah, Mesir dan Beirut, lelaki muslim tidak merasa cemburu saat wanita muslimah dilihat orang-orang asing. Bukan saja wajahnya, namun kedua belah tangan. Juga bukan hanya leher mereka, tetapi terlihat segala yang ada pada tubuh mereka, hanya tersisa benda yang menjijikkan peman-dangan jika terlihat -dan tentu lebih baik ditutup- yakni kemaluan dan buah dada.

Di dalam klub-klub malam, suami-suami muslim menyuguhkan istri-istri mereka untuk berdansa, berang-kulan dengan lelaki asing. Dada bertemu dada, perut bertemu perut, bibir dengan pipi, kedua tangan memeluk tubuh. Tetapi meskipun demikian, tak seorang pun protes. Di universitas-universitas Islam, mahasiswa muslim duduk dengan mahasiswi muslimah dengan aurat terbuka. Tak seorang pun, orang tua muslim mengingkari.

Hal semacam ini banyak terjadi. Tidak dapat diatasi hanya di dalam waktu sehari atau dalam waktu singkat. Akan tetapi dengan cara kembali ke jalan yang benar, melalui jalan yang semula kita lewati untuk menuju kejelekan. Walaupun jalan itu sekarang telah jauh. Orang yang tidak mau menempuh jalan panjang yang hanya satu-satunya ini, tidak akan pernah sampai. Kita mulai dengan memberantas bercampurnya laki-laki dengan wanita di dalam satu majlis tanpa hijab (ikhtilath). Dan tidaklah sama antara ikhtilath dengan membuka penutup wajah (cadar). Adapun menampakkan wajah, jika dengan menampakkannya tidak membahayakan si gadis dan tidak mengakibatkan pelanggaran terhadap kehormatannya, maka masalahnya lebih ringan. Bahkan mungkin lebih ringan dari apa yang di negeri Syam kita sebut dengan hijab (yang ia kemudian disalah-mengertikan, pen). Ia tidak lain hanyalah sebagai penutup cacat, membentuk lekuk keindahan tubuh dan untuk memperdaya orang yang memandang. Membuka, jika hanya sebatas pada wajah sebagaimana wajah yang diciptakan Allah tidaklah semua ulama sepakat meng-haramkannya, meskipun kita berpendapat bahwa menutupnya adalah lebih baik dan lebih utama. Tetapi menutupnya saat ditakutkan terjadinya fitnah, hukumnya adalah wajib.

Adapun ikhtilath adalah sesuatu yang lain. Tidaklah mesti gadis yang membuka wajahnya selalu bercampur baur dengan yang selain mahramnya. Tidak pula istri yang tanpa tutup wajah harus menyambut kawan suami di rumahnya atau menyalaminya jika bertemu di kereta, bertemu di jalan. Atau seorang gadis menjabat tangan pria di universitas, berbincang-bincang, berjalan seiring, belajar bersama untuk ujian dan lupa bahwa Allah menjadikan ia sebagai wanita dan si kawan sebagai pria, satu dengan yang lainnya dapat saling terangsang. Baik wanita, pria atau seluruh penduduk dunia tidak akan mampu mengubah ciptaan Allah, menyamakan dua jenis atau menghapus rangsangan seks dari dalam jiwa mereka.

Saya memiliki beberapa makalah tentang persamaan gender (jenis kelamin). Di situ saya berbicara tentang beberapa hak dan kewajiban, pahala dan siksa, tetapi tidak di dalam masalah pekerjaan, karena tidaklah mungkin seorang laki-laki hamil dan menyusui menggantikan para wanita. Sementara wanita, tidak mungkin berperang atau melakukan pekerjaan-pekerjaan berat menggantikan peran laki-laki, juga bukan pekerjaan-pekerjaan haram atau yang bisa mengakibatkan kepada yang haram.

Mereka yang menggembar-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas atas nama kemajuan adalah pembohong dilihat dari dua sebab:

Pertama, karena semua itu mereka lakukan untuk memberikan kepuasan kepada diri mereka sendiri. Mereka merasakan nikmat melihat anggota badan yang terbuka itu dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Akan tetapi, mereka tidak berani berterus terang. Oleh karena itu, mereka bertopeng dengan kalimat yang mengagumkan, yang sama sekali tidak ada artinya, yakni: kemajuan, modernisasi, kehidupan kampus, jiwa olahraga dan ungkapan-ungkapan lain yang kosong tanpa makna, bagaikan gendang.

Kedua, mereka bohong, oleh karena bermakmum kepada Eropa, menjadikan Eropa sebagai suluh dan mereka tidak dapat memahami sesuatu kecuali dengan cara Eropa. Kebenaran, menurut mereka bukan kebalikan kebatilan. Akan tetapi, kebenaran adalah segala sesuatu yang datang dari sana, dari Paris, London, Berlin dan New York. Sekalipun berupa dansa, porno, pergaulan bebas di universitas, buka aurat di lapangan dan telanjang di pantai (atau kolam renang). Kebatilan adalah segala sesuatu yang datang dari sini, dari Al-Azhar di Mesir, sekolah-sekolah Islam di Timur dan dari masjid-masjid Islam. Walaupun hal itu berupa kehormatan, petunjuk kebenaran, keterpeliharaan dan kesucian. Suci hati dan badannya.

Di Eropa dan Amerika, seperti kita baca dan dengar dari mereka yang mengunjungi negeri-negeri itu, terdapat banyak keluarga yang tidak rela dan tidak mengizinkan pergaulan bebas. Di Paris, ya di Paris! Para bapak dan ibu melarang anak gadis mereka berjalan dengan seorang pemuda atau pergi bersama ke gedung bioskop. Bahkan mereka tidak diperbolehkan nonton, kecuali film-film yang sudah diketahui jalan ceritanya dan mereka tahu benar bahwa di dalam film-film itu, tidak ada adegan porno dan jorok. Yakni: Adegan-adegan yang sangat disayangkan, selalu terdapat dalam acara-acara untuk muda-mudi yang oleh perusahaan film Mesir yang bodoh dinamakan seni perfilman. Mereka bodoh mengenai film, seperti juga mereka bodoh tentang agama. Mereka katakan adegan-adegan itu sebuah seni perfilman.

Kata mereka, “Pergaulan bebas itu dapat mengu-rangi nafsu birahi, mendidik watak dan dapat menekan kegiatan seksualitas di dalam jiwa.” Untuk menjawab ini saya limpahkan kepada mereka yang telah mencoba pergaulan bebas di sekolah-sekolah, yaitu orang Rusia yang tidak beragama, yang tidak pernah mendengar petuah ulama dan pendeta. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini, setelah melihat bahwa hal ini amat merusak?

Amerika, apakah mereka belum membaca, bahwa problem Amerika, adalah semakin meningkatnya siswi-siswi hamil? Karena itu, mereka mengajarkan pelajaran seks di sekolah-sekolah. Artinya, mereka menuangkan bensin ke dalam api. Mereka menjelaskan kepada para gadis yang suci dan tak mengerti soal seksualitas tentang: Apa yang tersembunyi dari aurat laki-laki dan apa yang dilakukan laki-laki jika sedang berduaan dengan wanita. Pada saat yang sama, ada setan-setan dari jenis manusia yang mengajak kita agar melakukan seperti apa yang me-reka lakukan. Sebagaimana mereka juga membiasakan dan melatih para siswi sekolah-sekolah menengah untuk menggunakan pil pencegah kehamilan.

Siapa yang akan merasa bahagia, apabila univer-sitas-universitas Mesir, Syria, (Indonesia) dan seluruh negeri-negeri Islam mengalami persoalan yang sama?

Saya tidak berbicara kepada para pemuda. Saya tidak ingin mereka mendengar. Saya tahu bahwa mungkin mereka menyanggah dan menertawakan saya. Karena saya telah menghalangi mereka menikmati kelezatan yang benar-banar mereka peroleh. Akan tetapi, saya berbicara kepada kalian, putri-putriku. Wahai putriku yang beriman dan beragama! Putriku yang terhormat dan terpelihara! Ketahuilah bahwa yang menjadi korban bukan orang lain, tetapi engkau. Oleh karena itu, jangan berikan diri kalian sebagai korban iblis. Jangan dengarkan ucapan mereka yang merayumu dengan pergaulan demi kebebasan, modernisasi, kemaju-an dan kehidupan kampus. Sungguh kebanyakan orang yang terlaknat itu tidak beristri dan tidak punya anak. Mereka sama sekali tidak perduli dengan kalian, selain untuk pemuas kelezatan sementara. Sedang saya adalah seorang ayah dari beberapa gadis. Jika saya membela kalian, berarti saya membela putri-putriku sendiri. Aku ingin kalian bahagia seperti yang aku inginkan untuk putri-putriku.

Sesungguhnya tak ada yang mereka kagumi, selain memperkosa kehormatan gadis yang sudah sirna. Kemuliaan yang tercela tidak akan pernah kembali dan begitu juga dengan martabat yang hilang.

Jika anak putri telah jatuh, tak seorangpun di antara mereka mau membimbing tangannya atau mengangkat dari lembah kejatuhan. Yang engkau dapati, mereka saling memperebutkan kecantikan gadis itu, selama kecantikan itu masih ada. Jika sudah hilang, mereka pun pergi meninggalkan anak putri tersebut. Sebagaimana anjing-anjing meninggalkan bangkai yang tak berdaging sedikitpun.

Inilah nasihatku kepadamu, putriku. Inilah kebe-naran, selain ini jangan dipercaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah kunci pintu perbaikan, bukan di tangan kami kaum lelaki. Jika mau, perbaikilah diri kalian, dengan demikian umat pun akan menjadi baik
READMORE - Putriku, Kembalilah ke Jalan Tuhanmu

Para Suami lah penyebabnya, akan tetapi ... !!

Para Suami lah penyebabnya, akan tetapi ... !!
Jumat, 06 Februari 04
Ketika mata-mata para isteri terbuka lebar, lisannya mulai "berani" berbicara, dan suaranya pun mulai nyaring, maka aku tidak jadi menasihati mereka dan hanya berusaha diam dan membisu.... Segala tetek-bengek mulai membuat sumpek: wajah tidak sumringah; pendengaran jadi berat manakala aku ingin mengajaknya berbicang-bincang tentang kelalaian kami, tentang malasnya kami dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan suka berleha-leha d engan waktu, dan ... dan.. masih banyak lagi. Akan tetapi, kami tidak pernah membicarakan permasalahan suami dan hak-haknya kepada kami dan kewajiban mereka kepada kami, sampai akhirnya terjadilah apa yang terjadi ...

a) Diantara mereka (para isteri) ada yang berkata, "Jasa apa yang telah ia (suami) lakukan, sehingga kalian mengatakan bahwa hak seorang suami dari kami adalah sangat besar, bahwa Rasulullah menyatakan seandainya diperintahkan seseorang untuk bersujud kepada sesama manusia, tentu aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya.?

b) Dan jika kita tanya kepada para isteri tentang segala permasalahan yang dihadapinya dalam keluarga di zaman ini -padahal aku mengira dengan pasti bahwa awal penyebab semua itu adalah sedikitnya dzikir kepada Allah, jauhnya kita dari Allah, tidak mengamalkan agama- maka tidak ada jawaban yang keluar dari lisan mereka (para isteri di zaman ini) selain: suami-lah penyebab semua ini, demi Allah !! Sungguh menyesakkan dadaku, demi Allah, bahkan miris ketika terdengar kabar dari kami-kami ini (para isteri dan para suami) hal yang memilukan. Allah berfirman, "Dan kami taqdirkan terjadinya mawaddah wa rahmah di antara kalian". Akan tetapi kami (para isteri) malah mengatakan, "Sebab terjadinya kegundahan dan malapetaka yang menimpa kami adalah para suami." Dan para suami pun mengatakan, "Wanita-lah penyebab semua itu."!! Seolah kita (suami dan isteri) adalah dua pihak yang saling berusaha menjatuhkan atau mengalahkan lawannya, dan mencerca aib-aib dan kekurangannya, padahal Allah berfirman, "Sebagai pasangan bagi masing-masing) seperti satu jasad, dan satu nyawa....

Para wanita membicarakan hal-hal yang menyenangkan dirinya dan juga menggunjingkan kesalahan-kesalahan suaminya, padahal Allah berfirman, "Laki-laki adalah Qawwam terhadap wanita." Qawwam, maknanya sangat luas, seandainya kita-kita ini para wanita dan para lelaki mau meresapinya, tentu akan terselesaikanlah segala permasalahan dan musibah. Maka wajib bagi seorang isteri untuk memberikan hak suaminya, dan menjadikan suaminya benar-benar sebagai seorang laki-laki, dan menempatkannya sesuai posisinya, menghormatinya, serta mentaatinya selama tidak menyuruh kepada ma'shiyat kepada Allah.

Dan ingatlah firman Allah, "Dan berlemah-lembut, dan banyak memaafkan kesalahan orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang ihsan". Ini adalah tentang sikap kepada orang lain, maka bagaimana lagi kita bersikap kepada suami kita... Dan ketahuilah wahai para isteri, bahwa muamalah yang baik ini akan berdampak positif yang sangat besar pada hati suami dan perbaikan kehidupan suami-isteri. Dan ingatlah, bahwa untuk semua itu, Allah menberikan pahala yang besar, lagi agung.....

Adapun kalian wahai para suami (yang beriman kepada Allah), maka kami mengatakan kepadamu sebagaimana Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik muamalahnya kepada anggota keluarganya".
Dan para wanita membutuhkan bukti cintamu, mawaddahmu, dan penghormatanmu; ia mengerjakan hal-hal yang kalian sukai. Rasulullah bersabda, "Cintailah/sukalah kalian kepada saudaramu tentang sesuatu yang kalian juga cinta kepadanya." Dan ketahuilah bahwa isteri juga manusia yang bisa bersalah, sama seperti kalian (para suami) juag bersalah. Bantulah mereka untuk mempelajari Islam, dan jangan kalian ridha dengan kemasiatan yang dilakukan isteri-isteri kalian...

Buatlah sesuatu untuk isterimu pada berbagai kesempatan sehingga engkau melihat kebahagiannya dan untuk menjaga citramu di sisi isterimu. Dan ingatlah bahwa Allah menjadikan kalian sebagai qawwam tidak lain karena Allah memberikan kekuatan yang lebih daripada kepada wanita, baik kemampuan akal, kemampuan fisik. Maka konsentrasikanlah dirimu untuk menjaga predikat qawwam ini untuk kemanfaatan diri dan keluarga, serta ingatlah bahwa jika engkau tidak menyukai isterimu pada salah satu sifatnya, pasti kamu menyukai sifat-sifat dia yang lain yang bahkan lebih banyak.

( Ummu Abdillah Al-Muntakh )
READMORE - Para Suami lah penyebabnya, akan tetapi ... !!

Mutiara Qalbu dan Rasa Pengen Tahu

Mutiara Qalbu dan Rasa Pengen Tahu
Jumat, 12 Agustus 05
Aku tidak tahu dengan apa dan bagaimana para orang tua menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak mereka dalam segala hal yang mereka temui dalam kehidupan mereka, khususnya pertanyaan yang datang tiba-tiba, menggunakan cara yang terlihat aneh, dan terkadang juga dengan cara bercanda.
Dan yang lebih penting dari hal itu adalah pertanyaan yang sangat pribadi, seperti misalnya:
1. Kenapa engkau tidak shalat, Pak? ;
2. Kenapa engkau merokok, Pak?;
3. Kenapa orang-orang berduyun-duyun ke masjid ketika Ramadhan, Pak?;
Dan berbagai pertanyaan lainnya yang bisa mengkerutkan kening.
Yang terpenting adalah menjawab dengan baik, menyenangkan, dengan cara yang simpel, praktis, dan tepat. Tidak semestinya berpura-pura dan meremehkan pertanyaan-pertanyaan itu. Yang lebih menyedihkan lagi adalah perilaku para orang tua yang mencela atau memarahi sang anak ketika mengutarakan pertanyaan-pertanyaan tersebut, padahal sang anak sebenarnya tidak ingin bertanya, kecuali sekedar bercanda atau ingin tahu saja.
Banyak orang tua yang menganggap bodoh fikiran anak-anak mereka dan melecehkan pertanyaan, ide, dan usulan mereka; dan merasa hina jika menjawab pertanyaan mereka, lalu akhirnya tidak melirik sedikitpun kepadanya, sehingga akhirnya anak-anak tidak berkembang sebagaimana mestinya, dan terjadi penyimpangan karena perilaku yang salah yang ditunjukkan orang tua.
Apa yang Sebaiknya Orang Tua Lakukan?
Berusaha sekuat kemampuan mereka agar tidak muncul dari mereka generasi yang tenggelam dalam kebodohan akan lingkungannya karena terjangkit penyakit sizoprenia (penyimpangan perilaku berupa suka mengasingkan diri dari orang lain -pent), juga sizoprenia pemikiran (tidak mau mengetahui pemikiran orang lain -pent) yang ada di lingkungan sekitar. Dari hal ini akan berakibat munculnya sikap negatif dari para orang tua dan anak-anak enggan memikirkan diri dan fikirannya, tidak memberikan porsi perhatian yang cukup kepada anak-anak dan seambreg pertanyaan mereka. Padahal anak-anak adalah bunga kehidupan, mutiara qalbu, dan penyejuk jiwa. Oleh karena itu, menanamkan kepercayaan diri pada mereka akan menjadikan mereka percaya dan komit kepada kita.
Dan jadikanlah ikatan jiwa dan fikiran diantara orang tua dan anak demikian kuat, terasan dan berpengaruh. Dan bersungguh-sungguhlah membina mereka dan untuk kebaikan mereka dengan kesungguhan karena Allah ta'alaa, sehingga kita termasuk orang yang mengemban amanah Allah yang itu pun akan kembali kepada kita beruba kebaikan dunia dan akhirat, jika kita ikhlas kepada-Nya.
Sesungguhnya hilangnya "bahasa" dialog antara orang tua dan anak, dan hilangnya "respon positif" terhadap pertanyaan yang menyeruak dari anak-anak terhadap berdampak bahaya yang tidak ringan, anak menjadi tidak percaya diri atau tidak percaya/komit kepada orang tua. Dan jika sudah demikian, maka anak-anak akan berpindah kepada orang lain dalam berkeluh-kesah, mengungkapkan gejolak qalbu dan fikirannya. Dan jika orang tersebut tidak baik atau jelek adab dan akhlaqnya, maka masalah yang tidak bisa dianggap remeh akan menghadang sang anak. (Abm)
Sumber: Majalah Al-Da'wah (Riyadh-KSA) No. 1923/2111424H/25122003M
Penerjemah: Abu Muhammad ibn SHadiq
READMORE - Mutiara Qalbu dan Rasa Pengen Tahu

MUSLIMAH DENGAN TETANGGA

MUSLIMAH DENGAN TETANGGA
Kamis, 13 September 07
Sebagai makhluk sosial manusia hidup di tengah-tengah masyarakat, dia tidak lepas dari ikatan lingkungan di mana dia tinggal, begitu pula dengan seorang muslimah, dia pun hidup di masyarakat di mana dia menjadi bagian darinya, dengan alasan apapun dia tidak mungkin membebaskan diri dari bagiannya dan merasa seolah-olah tinggal sendiri dengan mengacuhkan lingkungan sekitar, sementara pada saat yang sama seorang muslimah juga harus menghadapi kenyataan bahwa dalam lingkungannya terdapat sisi negatif yang mengharuskannya bersikap hati-hati.
Lingkungan di mana seseorang tinggal lazim disebut dengan tetangga, dan tema tetangga sebenarnya bukan tema khusus muslimah, ia mencakup setiap muslim akan tetapi karena muslimah sebagai istri kerap berada di rumah sementara seorang muslim sebagai suami kerap berada di luar rumah, maka secara otomatis peluang interaksi kepada tetangga bagi muslimah lebih lebar.
Setiap muslim dan muslimah mengetahui posisi tetangga dalam agama Islam di mana oleh agama Islam tetangga diberi hak-hak tersendiri yang tidak diberikan kepada selainnya, hal ini terbaca dari wasiat Jibril yang berulang-ulang kepada Nabi saw tentang tetangga sehingga beliau mengira tetangga akan mewarisi. (Hadits Muttafaq alaihi dari Ibnu Umar dan Aisyah).
Di samping itu tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur iman seseorang. Nabi saw bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليحسن إلى جاره .

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sebaliknya tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur ketidakimanan seseorang. Nabi saw bersabda,

" والله لا يؤمن ، والله لا يؤمن ، والله لا يؤمن !" قيل : من يا رسول الله ؟ قال : " الذي لا يأمن جاره بوائقه ".

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika Rasulullah saw ditanya maksudnya beliau menjawab, “Orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah). Karena itu tidak aneh kalau tetangga bisa mempengaruhi surga.
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah,

لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه .

“Tidak masuk surga orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.”
Melihat kedudukan tetangga maka selayaknya seorang muslimah memperhatikan hak-haknya karena itu merupakan bukti keimanannya di samping menjadi sebab hubungan yang baik.
Hendaknya seorang muslimah ringan tangan dengan memberikan kebaikan kepada tetangga tanpa merasa kebaikan yang diberikan remeh sebab sangat mungkin tetangga tidak melihat apa yang diberikan akan tetapi dia melihat pemberian yang merupakan bukti itikad baik untuk menjalin hubungan yang baik.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " يا نساء المسلمات لا تحقرن جارة لجارتها ولوفرسن شاة ".

“Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah tetangga merasa remeh ketika hendak memberikan sesuatu kepada tetangganya walaupun ia hanya telapak kaki domba.” (Muttafaq alaihi).
Bisa jadi keadaan seorang muslimah tidak memungkinkannya untuk memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada tetangganya, tidak masalah karena tidak ada pembebanan di luar kemampuan, pun demikian masih ada sisi non materi yang bisa diberikan bahkan bisa jadi pahalanya lebih besar yaitu bimbingan keagamaan. Ya, seorang muslimah bisa menjadi daiyah meskipun dalam skala tetangga, membimbing membaca al-Qur`an, membimbing shalat dan membimbing dalam kebaikan-kebaikan lainnya. Tidak perlu merasa remeh karena memang masih ada muslimah-muslimah yang belum bisa beribadah dengan baik dan benar, dan mereka akan dengan senang hati menyambut bimbingan kepada kebaikan.
Termasuk kebaikan non materi adalah mengunjunginya secara berkala, apabila bertemu menjabat tangannya sambil tersenyum dan mengucapkan salam serta menanyakan kabarnya. Bagaimana jika seorang muslimah tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan, tidak materi tidak pula non materi? Tidak masalah karena masih ada kebaikan pasif yang pasti dimiliki dan mampu dilakukan oleh siapa pun yaitu menahan diri dari berbuat buruk kepada tetangga baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dalam salah satu hadits di atas Rasulullah saw menganggap seseorang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya tidak beriman.
Salah satu keburukan yang kerap terjadi dari tetangga kepada tetangga adalah memperolok-olok, saling memanggil dengan panggilan buruk dan ghibah, sebagaimana yang difirmankan Allah,

يأيها الذين ءامنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيرا منهن ولا تلمزوا أنفسكم ولا تنابزوا بالألقاب بئس الاسم الفسوق بعد الإيمان ، ومن لم يتب فأولئك هم الظالمون .

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujurat: 11).
Salah satu bentuk kebaikan pasif adalah tidak mempersoalkan tetangga menunaikan hajat baiknya walaupun ia berkait denganmu wahai muslimah, tetapi kamu tidak dirugikan,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " لا يمنع جار جاره أن يغرز خشبة في جداره ".

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya tetangga tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan kayu di dindingnya.” (Muttafaq alaihi).
Baik kepada tetangga memang diharuskan akan tetapi tidak berarti seorang muslimah menghabiskan kebanyakan waktunya bersama tetangga, satu bersama ini, esok bersama si anu, jika demikian maka justru bukan kebaikan yang didapatkan karena rumah muslimah sendiri bisa terbengkalai, dan itu berarti memperburuk hubungan dengan keluarganya yaitu suami, di samping hal tersebut bisa menyeret kepada perbincangan-perbincangan yang tidak baik. Bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga mengikuti semua ajakan dan kemauannya karena tidak semua ajakan tetangga itu baik. Biasanya dalam kondisi tersebut yang muncul adalah perasaan tidak enak atau rikuh atau takut dianggap tidak baik kepada tetangga sehingga meskipun seorang muslimah mengetahui bahwa kemauan tetangga tersebut tidak baik dia tetap menurutinya dengan alasan di atas. Sikap ini keliru, lebih baik berterus terang melalui penyampaian dengan bahasa yang baik, insya Allah tetangga bisa memaklumi, syujur-syukur muslimah bisa membelokkan kemauan yang tidak baik itu sehingga ia menjadi baik. Kalau pun dia memutus karena itu tidak perlu bersedih karena kesalahan bukan dari Anda. Ingat agama memerintahkan berbuat baik kepada tetangga dengan timbangan agama bukan dengan timbangan para tetangga.
READMORE - MUSLIMAH DENGAN TETANGGA

MENCIPTA RUMAH IDEAL

MENCIPTA RUMAH IDEAL
Senin, 14 Mei 07

Rumah merupakan salah satu di antara nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar hamba-hamba-Nya bisa berlindung dari panasnya matahari, dinginnya hujan, dan udara dari luar, serta untuk menyimpan barang-barang miliknya, juga untuk menutup diri dan menjaga keluarganya dari pandangan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal. (QS. An-Nahl/16: 80).

Di samping fungsi-fungsi tersebut, juga masih banyak lagi manfaat-manfaat yang diperoleh manusia dari rumah. Kita tidak bisa membayangkan seandainya hidup tanpa rumah. Niscaya banyak bahaya yang akan mengancam kita dan keluarga kita, baik dari sisi kesehatan, keamanan, kenyamanan, maupun keselamatan. Jika kita amati, orang-orang yang tidak mempunyai rumah, baik sedang di kamp pengungsian atau gelandangan yang tinggal di bawah jembatan atau di pinggir jalan, maka kita akan merasakan betapa besar nikmat sebuah rumah.

Begitulah, betapa indahnya sebuah rumah. Ia merupakan tempat tinggal, tempat berkumpul dengan keluarga, tempat mendidik dan melatih anak-anak kita agar tumbuh lebih dewasa dan bertanggung jawab, di samping sebagai tempat aman bagi kaum wanita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (QS. Al Ahzab/33: 33).

Rumah yang ideal dan bahagia adalah rumah yang dibangun di atas dasar ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pilar-pilarnya mengikuti dan mengambil hukum dari al qur’an dan as-Sunnah.

Penghuninya juga ridha dengan keputusan yang diambil dari keduanya. Begitu juga apabila terjadi perselisihan dan timbul permasalahan, mereka mengembalikan kepada kedua sumber hukum yang mulia, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya surat an-Nisa’ ayat 59, yang artinya: kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari sisi lahiriahnya, rumah tersebut jauh dari sifat berlebih-lebihan, dan lebih menunjukkan kesederhanaan, baik dalam masalah makanan, minuman, pakaian, perhiasan, peralatan maupun perabot rumah tangga. Penghuninya selalu memperhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-a’raf/7: 31).

Maksudnya, jangan melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh, dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan. Namun demikian, bukan berarti Islam mengesampingkan masalah keindahan rumah. Akan tetapi yang dimaksudkan ialah dengan cara yang sederhana dan tidak boros. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan rizki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al- a’raf/7: 32).

Bahwasanya perhiasan-perhiasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Adapun di akhirat nanti, semata-mata hanyalah untuk orang-orang beriman saja.

Kesederhanaan bersikap dan lurus dalam berfikir ini merupakan syari’at Islam yang diajarkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, seperti tampak dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا

Rasulullah tidak diperintahkan memilih di antara dua perkara melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya. (HR. Imam Bukhari, 3/1306).

Rumah seperti inilah yang diharapkan oleh setiap muslim, tidak hanya menjadi tempat tinggal dan istirahatnya, namun mampu memenuhi kebutuhan ruhani dan jasmaninya, juga menjadi tempat untuk mendidik istri dan anak-anaknya, menggantunkan harapannya dan cita-citanya, menjadikan keluarganya di atas bangunan takwa dan iman, selalu dinaungi oleh perasaan tenteram dan kebahagiaan dalam upaya menggapai ridha Rabbnya. Semua ini dapat tercapai bila rumah tersebut dipenuhi dengan dua perkara, yaitu secara fisik maupun secara maknawi.

SECARA FISIK
Pertama, Menjaga Kebersihan Rumah.

Rumah ideal ialah rumah yang memperhatikan kebersihan, selalu menjaganya dan mengaplikasikan firman Allah :

Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah/9: 108).

Islam sangat memperhatikan masalah kebersiha, karena kebersihan merupakan bagian dari ibadah. Seorang muslim dituntut untuk selalu menjaga kebersihan pakaiannya dari najis dan kotoran. Begitu juga diperintahkan untuk bersuci setelah membuang air besar ataupun kecil, membersihkan kotoran, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, membersihkan diri dari hadats, haid dan nifas. Semua itu merupakan kebersihan-kebersihan yang dianjurkan dan diperhatikan oleh kaum Muslimin. Demikian juga dengan menggosok gigi atau menggunakan siwak dan lain-lainnya.

Islam juga memerintahkan kita untuk membersihkan hati dari dengki dna hasad, menjaga mulut dari perkataan yang tidak bermanfaat, serta perkataan yang menyakitkan orang lain. Dengan demikian, seorang muslim benar-benar termasuk orang-orang yang menjaga kebersihan, sehingga tidak ada jalan bagi setan masuk ke dalam rumahnya.

Kedua, Memperhatikan hijab.
Dengan adanya hijab, maka kaum wanita yang mendiami rumah akan terjaga kehormatannya, dan merasa aman dari pandangan orang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hari mereka. (QS al Ahzab/33: 53).

Menurut Imam al Qurthubi, dalam ayat ini terdapat dalil bahwasanya Allah mengijinkan bertanya kepada isteri-isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari belakang tabir, apabila ada keperluan atau ingin bertanya tentang suatu masalah; dan seluruh wanita termasuk dalam makna ini, sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah bahwasanya wanita adalah aurat, badannya dan suaranya.(Tafsir al Qurthubi 14/227).

Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi menjelaskan dalam kitab beliau, bahwasanya dalam ayat yang mulia ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang wajibnya tabir dan merupakan hukum yang umum bagi seluruh wanita, bukan khusus bagi isteri-isteri Nabi ‘alaihi wa sallam saja, walaupun dari sisi konteks kalimatnya khusus bagi mereka. Akan tetapi, keumuman sebabnya sebagai dalil bagi keumuman hukumnya. (Tafsir Adhwa’ul-Bayan, 6/242).

Ketiga, Memisahkan tempat tidur anak,
Khususnya apabila mereka mendekati usia baligh.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ


Perintahkan anak yang berumur tujuh tahun untuk mengerjakan shalat; pukullah mereka pada umur sepuluh tahun jika mereka enggan mengerjakannya, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, 495).

Sebaiknya orang tua memisahkan tempat tidur anak-anak yang hampir baligh, laki-laki atau perempuan, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk melakukannya. Berkumpulnya mereka dalam satu tempat tidur, tersingkapnya aurat dan bersentuhan badan mereka, akan menimbulkan keburukan dan kerusakan, khususnya pada umur-umur yang mendekati baligh. Al Manawi di dalam kitab Fathul-Qadir Syarhi al Jami’ berkata: “Pisahkan tempat tidur anak-anak, jika mereka telah berumur sepuluh tahun, untuk menjaga ddari gejolak nafsu walaupun sesama anak perempuan.
Keempat, Tidak memasukkan gambar-gambar makhluk yang bernyawa dan patung-patung ke dalam rumah, dan juga tidak memelihara anjing.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَقُولُ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةُ تَمَاثِيلَ

Sesungguhnya malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar. (HR al Bukhari)

Di dalam kitab beliau, al Iman Manawi berkata: “Para malaikat yang dimaksud di sini ialah malaikat rahmat dan barakah, atau malaikat yang mengelilingi manusia, atau mengunjunginya untuk mendengar dzikir atau yang semisalnya, bukan malaikat yang mencatat amal perbuatan manusia; sesungguhnya para malaikat itu tidak pernah meninggalkan mereka sekejap pun, demikian juga malaikat pencabut nyawa. Para malaikat tidak memasuki rumah atau sejenisnya, yang di dalamnya terdapat gambar; karena diharamkannya menggambar makhluk hidup; karena tukang gambar seakan Allah dalam masalah pembentukan. Ini memberikan kesimpulan sebab diharamkannya gambar dan kerasnya pengingkaran tentang hal itu. Dan malaikat tidak memasuki rumah, yang di dalamnya ada anjing, karena najisnya dan menyerupai tempat-tempat yang kotor; padahal malaikat tersucikan dari tempat-tempat kotor. Maka tepatlah malaikat menjauhi rumah-rumah seperti ini”. (Faidhul-Qadhir, 2/394).

Kelima, Menjauhkan rumah dari nyanyian dan alat-alat musik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. (QS. Luqman/31: 6-7).

Al Wahidi dan yang lainnya berkata: “Sebagian besar ahli tafsir (berpendapat), yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” (dalam ayat ini) ialah nyanyian. Demikian juga pendapat ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, ‘Abdullah Ibn Umar, Mujahid dan Ikrimah. (Ighatsatul-lihfan fi Mashayidisy-Syaithan, 1/360).

Imam Ibnu Qayyim menjelaskan: “Sesungguhnya tidak engkau dapatkan seseorang yang sibuk dengan nyanyian dan alat-alatnya melainkan ia telah tersesat ilmu dan amalnya dari jalan petunjuk. Dia mendengarkan nyanyian dan berpaling dari al Qur’an. Apabila ditunjukkan kepadanya antara mendengar nyanyian dan mendengar al Qur’an, maka ia lebih memilih mendengarkan nyanyian, dan merasa sangat berat untuk mendengar al Qur’an.

Beliau rahimahullahu melanjutkan penjelasannya: “Pembicaraan dalam masalah (bahaya nyanyian) ini, dirasakan oleh orang yang masih ada kehidupan di hatinya. Adapun orang yang hatinya telah mati dan fitnahnya cukup besar, maka dia menutup dirinya dari nasihat tersebut. Allah telah berfirman, yang artinya: Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS al Maidah/5 ayat 41).

Keenam, Membersihkan rumah dari segala tanda-tanda salib.
Sesuatu yang sangat memprihatinkan bahwasanya sebagian besar kaum muslimin mengikuti kebiasaan orang-orang kafir secara membabi buta. Orang-orang kafir membuka pintu-pintu kesesatan dengan memasukkan tanda-tanda salib ke dalam rumah-rumah kaum Muslimin tanpa mereka sadari. Tanda-tanda salib ini berbentuk ornamen hiasan pada baju, jendela, buku-buku dan lain-lainnya.

Oleh karena itu berhati-hatilah! Jangan sampai barang yang keji ini masuk ke dalam rumah kita, karena ini merupakan ciri-ciri kesyirikan dan kekufuran. Larang ini disebutkan dalam hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :

Sesungguhnya Nabi, tidaklah meninggalkan sesuatu yang berbentuk salib, melainkan beliau rusak. (HR Imam Bukhari, 5/2220).

SECARA MAKNAWI
Pertama, Berusaha membina hubungan yang harmonis antara suami dan isteri.

Rumah tangga bahagia adalah kunci kebaikan umat. Sedangkan kebaikan umat merupakan faktor utama tercapainya kejayaan dan kemuliaan. Maka umat tak mungkin baik, kecuali pondasi paling mendasar dari kehidupan masyarakat, yaitu rumah tangga menjadi baik. Rumah tangga tak mungkin bahagia, kecuali jika suami dan isteri bersikap baik, tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga dengan suami yang baik, ia selalu menunaikan kewajiban-kewajibannya; baik yang berhubungan dengan Rabbnya, keluarga, maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan ketulusan hati dan penuh tanggung jawab. Selain itu, dalam urusan rumah tangga, dia tidak serakah, tidak menuntut haknya lebih banyak dari yang semestinya. Dia pun lapang dada, bila haknya berkurang dari yang seharusnya. Pantang menyia-nyiakan kewajiban. Bahkan, ia tunaikan terlebih dahulu kewajibannya sebelum menuntut haknya. Sedangkan seorang isteri yang baik, ialah isteri yang taat kepada Rabbnya, mempergauli suaminya dengan baik, tidak menyia-nyiakan kewajibannya dan tidak menuntut haknya lebih dari semestinya.

Dari rumah inilah akan lahir tokoh-tokoh besar umat.Baik dari kalangan pria atau wanita. Perkawinan adalah ikatan terpenting. Bila ikatan ini berjalan di atas ketakwaan, iman dan kasih sayang, maka umat ini akan tampil dengan kemuliaannya dan disegani. Sebaliknya, jika hak dan kewajiban rumah tangga diabaikan maka rumah tangga akan berantakan. Demikian juga umat akan tercerai-berai dan terhinakan. Oleh sebab inilah Islam hadir untuk memelihara ikatan tersebut, mengokohkannya dan menjaga eksistensinya.

Kedua, Menjaga hubungan yang baik antara anak dan orang tua.

Rumah yang penuh kebahagiaan, ialah rumah yang dibangun di atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang teguh dengan adab-adab Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbakti kepada orang tua; yaitu dengan berbuat baik, memenuhi seluruh haknya, selalu menaati orang tua dalam perkara yang ma’ruf, menjauhi perkara-perkara yang dibencinya.

Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang sangat ditekankan. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan dengan perintah untuk mengesakan-Nya, Allah berfirman, yang artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS al Isra’/17: 23).

Juga disebutkan dalam sebuah hadits, Rasullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ

“Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka,” ditanyakan kepada beliau: “Siapa, wahai Rasulullah?” (Rasulullah menjawab), “Orang yang menjumpai kedua orang tuanya dalam keadaan usia lanjut salah satunya atau keduanya, lalu ia tidak dapat masuk surga.” (HR. Muslim 4628).

Berbakti kepada orang tua merupakan cahaya penerang bagi rumah kaum Muslimin. Di dalamnya terdapat adab-adab, misalnya: mendengar perkataan mereka, memenuhi perintah mereka, menjawab panggilan mereka, merendahkan diri kepada orang tua dengan penuh kasih sayang, tidak menyelisihi perintahnya, mendoakan dan menjaga kehormatannya setelah mereka wafat, menyambung tali silaturrahmi dengan kerabat-kerabatnya semasa mereka masih hidup dan sesudah wafatnya, tidak durhaka kepada mereka, serta bersedekah atas nama mereka. Dengan demikian rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang yang berbuat baik kepada orang tuanya terasa tenang, tenteram, dan terjaga dari godaan-godaan setan.

Ketiga. Hubungan sesama anak-anak di dalam rumah.
Menjadi kewajiban orang tua untuk memperhatikan sikap anak-anak terhadap saudara-saudaranya. Berusaha membimbing mereka menuju kebaikan sesuai dengan kemampuannya. Tekankan anak yang lebih muda untuk menghormati yang lebih tua, dan yang lebih tua menyayangi yang lebih muda.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا

Bukan dari golongan kami orang yang tidak mengetahui hak orang yang lebih tua dan tidak menyayangi orang yang lebih muda. (HR. Ahmad).

Hendaklah orang tua mengajarkan adab dan sopan santun terhadap sesama mereka, tidak saling mengejek dan merendahkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al Hujurat/49:11).

Begitu juga, hendaknya orang tua memperhatikan dan mengarahkan anak-anak kepada hal-hal yang bermanfaat, dan bukan pada hal-hal yang merusak. (Fiqh Tarbiyatil al Abna’ wa Thaifatu min-Nashaih ath-Thiba’, hlm. 145)

Keempat. Rumah sebagai tempat berdzikir dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لَا يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

Perumpamaan rumah yang disebutkan nama Allah di dalamnya dan yang tidak, adalah sebagaimana orang yang hidup dan mati. (HR. Muslim, 779).

Betapa banyak rumah-rumah kaum Muslimin yang sepi dari dzikrullah, bahkan lebih dipenuhi dengan berbagai macam perkara yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti musik, gambar-gambar makhluk bernyawa, dan berbagai macam bentuk maksiat. Sedangkan rumah-rumah yang di dalamnya selalu diramaikan dengan aktifitas ibadah, adalah rumah yang selalu dikelilingi para malaikat dan membuat setan lari darinya, sebagaimana disebutkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat al Baqarah. (HR. Muslim).

Juga dalam hadits yang lain, beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا

Jika salah seorang di antara kalian telah selesai dari shalat di masjidnya, maka hendaklah memberikan bagian shalatnya di rumahnya. Sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di rumahnya dari sebab shalatnya. (HR. Muslim, 778).

Imam an Nawawi berkata: “Jumhur ulama berpendapat, shalat itu adalah shalat sunnah (yang dikerjakan di rumah) dalam rangka menyembunyikannya (dari pandangan manusia). Juga karena hadits lainnya: ‘sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat yang wajib’, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan shalat di rumah, karena lebih tersembunyi (dari pandangan manusia), lebih jauh dari sifat riya’, dan lebih terjaga dari perkara-perkara yang menyebabkan terhapusnya suatu amalan. Juga untuk mendatangkan barakah bagi rumah tersebut, demikian juga turunnya malaikat dan larinya setan darinya”.

Akhirnya kami mengajak kaum Muslimin agar menjadikan rumah-rumah mereka, sebagai rumah yang dipenuhi dengan ruku’, sujud, tilawat, menunaikan hak-hak Allah Subhanahu mengikuti adab-adab Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, menunaikan hak-hak sesama dan menjauhkan segala perkara-perkara yang mendatangkan kemurkaan dan adzab-Nya. Sehingga rumah-rumah kaum Muslimin pun merupakan surga mereka di dunia sebelum meraih surga di akhirat kelak. (Ustadz Abu Saad Muhammad Nur Huda)

Majalah Assunnah, Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M
READMORE - MENCIPTA RUMAH IDEAL

KECEMBURUAN LAKI-LAKI

KECEMBURUAN LAKI-LAKI
Jumat, 23 Maret 07

Di antara salah satu adab pergaulan antara suami-isteri, yaitu seorang suami seharusnya bersikap pertengahan dalam hal kecemburuan kepada isteri, sehingga tidak terlalu berlebih-lebihan, atau sebaliknya menganggap remeh sikap cemburu. Hendaknya ia melakukan tindakan preventif, jangan bersikap lengah terhadap hal-hal perlu dikhawatirkan bahayanya. Tetap menjaga isterinya, namun dalam batas-batas yang telah digariskan syari’at. Hal seperti ini dan semisalnya, termasuk jenis cemburu yang terpuji. Adapun sikap cemburu suami yang berlebih-lebihan serta prasangka yang tidak dilandasi bukti dan akal sehat, dan juga selalu mengontrol dan mengawasi isteri dalam segala perbuatannya, maka ini termasuk perbuatan yang tercela lagi diharamkan.

Allah berfirman,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al Hujurat/49: 12).

Nabi  juga melarang para suami mencari-cari kesalahan isteri. Sebagaimana beliau  tegaskan dalam hadits: “Ada jenis cemburu yang Allah membencinya. Yaitu kecemburuan suami kepada isteri yang tidak disertai adanya indikasi kuat yang mendukungnya”. (HR. Al Bazzar dan Ath-Thabrani).

Barangsiapa mengabaikan sifat cemburu yang bisa lebih menguatkan hubungan cinta di antara suami isteri, maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Dijelaskan oleh Nabi  : “Sesungguhnya Allah tida melihat kepada ad-dayuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga”. (HR. Ahmad 2/169, 134)

Dayyuts adalah, seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang isteri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Sikap yang wajar dalam masalah ini akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Sikap pertengahan dalam menyikapi rasa cemburu, artinya ia menjauh dari berprasangka buruk, tidak mencari-cari satu perkara secara mendetail bila tidak perlu, menghindari sikap tergesa dalam menerima berita yang sengaja dihembuskan oleh orang yang mempunyai niat buruk-tanpa menyaringnya, berhati-hati terhadap perkara yang dikhawatirkan membahayakan, dan menjaga diri dari perilaku yang merusak. Jika hal itu dapat dipenuhi, maka itulah keutamaan yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila tidak, maka akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Terkadang ada di antara para suami yang terjangkiti sifat cemburu buta. Dia merasa cemburu (pada isterinya) dari semua orang, sehingga isteri dilarang mengunjungi atau dikunjungi, meski kunjungan dari orang-orang mulia dan terhormat. Suami tidak bisa menerima, jika pintu rumahnya terbuka. Dia tidak merasa nyaman jika ada seseorang mengunjungi isterinya, tanpa sepengetahuannya. Atau saat ia tidak berada di rumah. Jika ia berangkat kerja, seluruh pintu ditutup, kunci-kunci dibawanya, dan setelah pulang seluruh kamar dikelilingi dan diamati. Sampai-sampai bila orang tua atau mahram dari isterinya datang berkunjung, maka harus menunggu di luar rumah sampai suami yang pencemburu itu tiba. Sungguh ini bisa menjadikan si isteri dan kerabatnya merasa tersinggung dan marah karena merasa tidak dihargai.

Kepada suami yang memiliki sifat demikian, rasanya lebih adil dan tepat jika dikatakan kepadanya: “Yang engkau lakukan itu, bukan termasuk cemburu yang benar menurut agama. Juga bukan kecemburuan seorang yang benar disebut laki-laki. Itu tidak lebih sekedar kekhawatiran yang berlebihan, sehingga dengannya engkau telah membelenggu isterimu dari hak syar’inya. Dalam keadaan demikian, isterimu seperti bukan makhluk hidup padahal bukan pula benda mati. Engkau telah memadamkan cahaya kemuliaan dan kehormatannya. Nama baiknya akan menjadi pembicaraan di tengah publik. Sekiranya engkau termasuk orang muslim yang benar, yang berpegang pada akhlak dan etika Islam, tentu engkau akan melaksanakan firman Allah  yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al Hujurat/49: 12).

Sebaliknya, ada seorang suami yang terpesona dengan peradaban modern dan kemewahan duniawi. Maka diajaklah isterinya pergi ke tempat-tempat hiburan, diberikanlah kebebasan kepada isterinya untuk berkenalan dengan orang lain, yang baik maupun yang buruk akhlaknya. Hingga akhirnya si isteri pun melakukan hal-hal yang dilarang agama. Ternyata kemudian, si suami merasa cemburu. Sesampai di rumah, dihitunglah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat isterinya, hingga terjadilah perselisihan di antara mereka. Namun suami ini tetap lalai dan belum menyadari kecemburuannya. Dia selalu saja membuka pintu rumahnya bagi siapapun, kawan-kawan atau koleganya. Dia tidak merasa berdosa jika mereka datang saat ia tidak ada, Hingga akhirnya, jika telah ada berita buruk tentang kehormatan isterinya, dia baru menyadari kelengahannya, cemburu lagi, marah besar dan naik pitam.

Wahai, para suami yang lalai! Kecemburuanmu tak lagi bermanfaat setelah semua petaka itu terjadi.
Kecemburuanmu adalah kecemburuan yang dibenci, yang tidak membuahkan apa-apa selain kehancuran mahligai rumah tanggamu. Maka tinggalkanlah kecemburuanmu yang palsu itu. Gantilah dengan kecemburuan yang dibenarkan agama, yakni kecemburuan yang bijak dan tidak membabi buta, itulah kecemburuan yang dicintai Allah, yang tidak mungkin menjadi sebab timbulnya hal-hal negatif di kalangan orang-orang baik dan terhormat.

Dengan hidayah Allah  dan di atas nilai-nilai yang utama inilah, kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat bisa tercapai. Wallahu a’lam (Abu Saad).

Majalah assunnah edisi 11/Tahun X/1428H/2007 M
READMORE - KECEMBURUAN LAKI-LAKI

"Kebiasaan Ibu", Sanksi Fisik

"Kebiasaan Ibu", Sanksi Fisik
Jumat, 13 Mei 05
Oleh: Dilal Abdullah
Tidak disangsikan lagi bahwa sebagian pakar dan cendekiawan pura-pura tidak mengetahui akan pandangan Islam tentang sanksi fisik sebagai salah satu cara dalam memberikan pelajaran yang sangat berguna bagi siswa ataupun anak. Tentu saja, dengan sejumlah batasan yang mesti diperhatikan.
Hal itu menjadi semakin tegas, ketika kita membaca hadits.
Nabi yang kita cintai, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:
(( مروا أولادكم بالصلاة لسبعٍ، واضربوهم عليها لعشرٍ، وفرّقوا بينهم في المضاجع ))
Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah jika ia tidak shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.
Di sisi lain, pandangan dan teori-teori pendidikan kontemporer, secara generik, lebih cenderung untuk menjauhi penggunaan jenis sanksi fisik dalam pendidikan siswa dan anak-anak. Hal ini karena memukul bisa menimbulkan kebencian kepada guru dan kepada ayah, dimana hal itu juga bisa merusak hubungan diantara mereka. Sanksi fisik juga akan menjadikan sang siswa atau anak merasa takut dan mengalami kegoncangan jiwa, yang akhirnya menjadikan mereka suka berdusta, menipu, munafiq, dan akhirnya menumbuhkan kepribadian yang jahat atau tidak baik.
Pandangan yang demikian didukung oleh banyak orang, khususnya para pakar psiko-sosial. Mereka mendukung pendapat demikian, karena mereka memfokuskan perhatian kepada keselamatan siswa atau anak dan menghargai perasaan mereka tanpa mengetahui secara menyeluruh akan dimensi yang digunakan praktisi pendidikan dalam menghadapi sebagian pelajar yang sikap dan perilakunya sudah melebihi batas kriminal dan norma.
Diantara hal yang diakui bersama adalah bahwa memukul atau sanksi fisik bukan satu-satunya solusi atau cara yang bajik, jika hanya digunakan sendirian tanpa menggunakan cara pendidikan lainnya, metode tambahan, sebagai inti dalam metode pendidikan. Apabila metode pendidikan yang santun digunakan bersamaan dengan sanksi fisik yang tidak membahayakan sang siswa atau anak sebagai solusi terakhir, maka bisa diterima. Yaitu, tidak diperkenankan menggunakan sanksi fisik hanya karena sebab yang sepele, dan menjauhi tindak kekerasan dengan sejauh-jauhnya dengan berbagai aspeknya.
Dan solusi yang santun yang tidak bisa diingkari oleh semua orang adalah: Hendaklah seorang pendidik menjadi contoh yang baik bagi para siswanya, baik dari perilaku, ucapan maupun akhlaqnya, seraya mengharap pahala dari Allah ta'alaa; menghargai sang siswa seperti anaknya sendiri. Dengan hal ini, tanpa diragukan sedikitpun, maka perasaan siswa atau anak akan merasa dilindungi, diayomi, disayang oleh pendidik atau orang tua melalui ucapan, perbuatan, hata dalam pukulannya sekalipun.
Dan urgen untuk diketahui oleh seorang pendidik, bahwa mendidik adalah aktivitas pokok dan inti; dan ilmu tidak mungkin bisa dicerna dengan pemaksaan.
Dan pertanggungjawaban --tidak diragukan lagi-- adalah sangat besar; evaluasi dan perbaikan untuk generasi ini (anak dan siswa -pent) butuh akan sikap sabar, hikmah, dan lapang dada, serta perhatian yang besar dan besar.
Akan tetapi, kita tidak boleh lupa akan sanksi fisik dalam metode pendidikan, akan tetapi dengan sejumlah syarat:
• Tidak boleh dilakukan terhadap anak-anak dibawah usia 10 tahun, sebab memukul pada usia-usia tersebut tidak ada manfaat positifnya sama sekali;
• Harus ringan; tidak boleh kasar, berat apalagi sampai melukai;
• Tidak boleh menggunakan cara ini kecuali setelah menggunakan segala cara dan metode serta kesabaran yang panjang; dan
• Tidak boleh memberikan sanksi fisik kepada semua jenis kesalahan yang dilakukan siswa atau anak, kecuali dan hanya pada masalah yang besar dan serius yang memang layak untuk itu. (Abm)

Sumber: Majalah Al-Da'wah (Riyadh-KSA) No. 1923/24101424H/18122003M
READMORE - "Kebiasaan Ibu", Sanksi Fisik